Kuasa Hukum Beberkan Kejanggalan Penetapan Tersangka Kasus Pemerkosaan Dua Anak di Baubau
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kasus pemerkosaan dua anak di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra), WAS (4) dan WAR (9) memasuki babak baru usai perkara ini melewati rentetan persidangan.
Sejumlah kejanggalan proses penyelidikan, penyidikan oleh Polres Baubau hingga penuntutan oleh jaksa terungkap dalam persidangan. Dalam fakta persidangan tersebut, tidak ditemukan alat bukti yang mengarah kepada terdakwa AP.
Kuasa hukum terdakwa AP, Aqidatul Awwami membeberkan sejumlah kejanggalan, yakni penetapan tersangka terhadap kliennya tersebut tanpa melalui surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).
Menurut Aqida, seharusnya, tanpa SPDP kasus ini terhenti ketika saat proses sidang praperadilan. Pasalnya, SPDP sendiri merupakan objek praperadilan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“SPDP tidak ada. SPDP kan dalam putusan MK menjadi ranah objek praperadilan. Faktanya berkas perkara tidak dilengkapi SPDP,” kata Aqidatul Awwami dalam konferensi pers bersama media di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Senin (23/10/2023).
Saat menangkap AP, polisi juga tanpa mengantongi surat perintah penangkapan dan penahanan. Hal ini merupakan kejanggalan dan pelanggaran prosedur kepolisian.
Di samping itu, tim kuasa hukum juga menemukan 2 berkas perkara penetapan tersangka terhadap AP berbeda, antara yang dikantongi jaksa penuntut umum (JPU) dan kuasa hukum serta majelis hakim.
Pertama, surat penetapan tersangka versi JPU tertanggal 29 Januari 2023, nomor angka tertulis dengan ketikan. Dokumen penetapan tersangka kedua, yang dipegang hakim yakni tertanggal 28 Januari 2023 dengan nomor angka tulis tangan.
Aqida menceritakan, dalam proses persidangan, Kanit PPA Satreskrim Polres Baubau, Aipda Mulyono Santoso membantah dirinya yang menyusun dokumen penetapan tersangka itu.
Mulyono menuding, dua surat itu dibuat Brigadir Rahmiyanti Ahmad, merupakan pemeriksa korban dan terdakwa. Namun, hal sebaliknya disampaikan Rahmiyanti. Keduanya pun terlihat saling tuding.
“Rahmiyanti menyampaikan, saya juga tidak tahu, saya juga menyerahkan kepada Pak Mulyono,” ujar Aqidah menirukan bahasa penyidik Rahmiyanti saat sidang pemeriksaan saksi verbal lisan.
Tak mau menyerah, tim kuasa hukum lantas kembali mencecar sejumlah pertanyaan penyidik terkait dua surat penetapan tersangka yang berbeda tersebut.
Aqida melihat, 2 surat penetapan tersangka itu merupakan kejanggalan, lantaran tidak pernah terjadi dalam proses penyidikan di kepolisian.
“Kami menanyakan, apakah ini sering terjadi di kepolisian. Mereka menjawab, biasanya kami punya satu berkas yang diserahkan kepada hakim, dari hakim itu kemudian di-copy (digandakan) oleh kejaksaan, penasihat hukum atau katanya kadang ke kejaksaan, tapi berkasnya sama yang dipegang hakim. Mereka jawab lagi, katanya ada dua (berkas) biasanya. Kami tanya, menurut perkap (Peraturan Kapolri) bagaimana?, mereka jawabnya kontradiksi,” katanya.
Kala itu, tim penasihat hukum terdakwa meminta kepada hakim agar keduanya dikonfrontir. Tetapi hakim tidak mengizinkan karena waktu yang kasip.
Secara de facto, kata Aqida, penetapan AP sebagai tersangka adalah berdasarkan atas keterangan prematur dan tidak sah dari saksi-saksi, yakni antara lain, Samsiar dan La Ode Yusuf.
Aqida mencatat, polisi menetapkan tersangka lebih dulu pada 28 Januari 2023, padahal saksi-saksi belum selesai diperiksa. Bahkan, berkas perkara ditandatangani setelah penetapan tersangka, yakni 29 Januari 2023.
Saksi Samsiar dan La Ode Yusuf yang diperiksa pada 28 Januari 2023, bertanda tangan di BAP pada 29 Januari 2023 malam pasca-ditetapkannya AP sebagai tersangka.
“Penetapan tersangka kepada terdakwa AP yang mengacu kepada saksi-saksi telah menunjukkan adanya penyelundupan hukum dan penindasan hak asasi terdakwa AP,” tegasnya.
Sehingga, proses penyidikan dan penuntutan dianggap ugal-ugalan, melakukan abuse of power. Sementara, 7 terduga pelaku kekerasan seksual ini masih bebas berkeliaran, dan tak tersentuh hukum.
Sebelumnya, kakak korban berinisial AP dituduh sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap kedua adiknya, setelah ibu mereka melaporkan kasus ini ke Polres Baubau, pada 28 Januari 2023 lalu.
Padahal, kedua korban menyebut, pelaku pelecehan bukanlah kakak kandungnya, melainkan 7 pekerja perumahan, termasuk developer berinisial AR. Tetapi, polisi mengabaikan pengakuan kedua korban dan menetapkan AP sebagai tersangka.
Personel Satreskrim Polres Baubau diduga mengunduh video porno untuk menjerat AP, pada 5, 25 dan 28 Januari 2023. Jaksa mendakwakan video itu ditemukan di galeri setelah dipulihkan dari file sampah.
Padahal, ponsel merk Redmi berwarna hitam milik AP disita polisi pada 28 Januari 2023. Tetapi, konten pornografi ini dikonstruksikan seolah-olah AP karena sering menonton video tak senonoh, sehingga mencabuli kedua adiknya.
Aqidatul menyebut, dalam fakta persidangan, 3 konten video porno tersebut diakui oleh saksi Jelita. Ia mengatakan, video porno itu diperoleh dari file sampah.
“Dia (Jelita) sampaikan, konten porno yang ada di handphone AP tersebut, tidak diambil dari galeri tapi dari folder sampah,” ujar Aqidatul.
Tetapi, ketika penyidik diperiksa tak bisa membuktikan hasil uji digital forensik konten porno tersebut dan tak mampu menunjukkan berita acara pemindahan dari file sampah ke galeri sesuai dengan Peraturan Kapolri.
Barang bukti handphone, kata Aqida, kategorikan sebagai informasi elektronik, di mana cara perolehannya wajib memenuhi syarat formil dan materil.
Hal itu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Secara yuridis perolehan barang bukti informasi elektronik harus memuat syarat-syarat formil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Selanjutnya untuk menentukan validitas alat bukti elektronik tersebut diperlukan pengkajian ahli digital forensik sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP.
“Saat penyidik kami tanya, katanya lupa (membuat berita acara pemindahan barang bukti). Kami tanya lagi, ada tidak hasil laboratorium digital forensik untuk memverifikasi, validasi kebenaran dan keabsahan video. Tidak ada, kata penyidik,” beber Aqida.
Sehingga, tim kuasa hukum menyampaikan keberatan ponsel tersebut dihadirkan sebagai barang bukti. Tim penasehat hukum AP mengatakan, barang bukti itu tidak sah.
Namun, fakta mencengangkan ditemukan, bahwa video porno dalam ponsel AP di-download pada 5, 25 dan 28 Januari 2023. Padahal AP sudah ditahan pada waktu itu.
Fakta tersebut diterangkan pula terdakwa AP, bahwa terdapat video porno yang pernah terdownload pada sekitar Januari 2023. Fakta penguasaan handphone oleh penyidik pada tanggal 28 Januari 2023.
Sebagaimana diterangkan oleh anggota Buser Polres Baubau La Ode Yusuf dan La Baya serta dikuatkan dengan adanya Surat Perintah Penyitaan Nomor: Sp.Sita/06/I/2023/Reskrim tanpa tanggal bulan Januari 2023.
Faktanya, pada 28 Januari 2023 handphone tersebut sudah tidak lagi berada di dalam kekuasaan terdakwa AP, melainkan di tangan penyidik.
“Handphone sudah dalam penguasaan penyidik. Ada riwayat downloadnya, 3 konten. Makanya kami tanyakan, bagaimana bisa dikaitkan dengan peristiwa pidana di bulan Desember, mereka tidak bisa jawab,” urainya.
Tak sampai di situ, kuasa hukum melihat proses penyidikan sarat direkayasa. Pasalnya, kakak korban berinisial AP dipaksa mengaku bahwa dialah yang mencabuli 2 adiknya.
Terdakwa AP diintimidasi, diancam ditembak, hingga dipukuli menggunakan hanger oleh polisi agar memberi pengakuan memperkosa adiknya.
“Namun kita tetap menunggu putusan pengadilan dan berharap adanya peradilan yang benar-benar adil dan jujur,” pungkasnya. (bds)
Reporter: Septiana Syam
Editor: Biyan