Kepala BKKBN Sebut Bonus Demografi Indonesia Menuju Negara Maju Semakin Sempit
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan jendela bonus demografi yang menjadi peluang bangsa Indonesia menuju negara maju semakin sempit. Puncak bonus demografi yang digadang-gadang terjadi pada 2035 nyatanya sudah terlewati. Untuk itu langkah strategis mutlak dibutuhkan dengan prioritas sasaran yang tepat.
Jika tidak ada upaya yang lebih dari berbagai pemangku kepentingan, peluang bonus demografi akan terlewati. Indonesia pun terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.
Kegelisahan itu disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, di sela-sela rangkaian acara Hari Keluarga Nasional yang acara puncaknya digelar pada Sabtu (29/6/2024) ini di Semarang, Jawa Tengah.
Menurutnya, sekarang ini Indonesia sudah meninggalkan era puncak bonus demografi. Puncaknya sudah terjadi pada 2020. Pada tahun itu, jumlah working age (usia pekerja) cukup tinggi, tetapi setelah tahun 2020 mulai menurun.
“Artinya, orang-orang di usia kerja akan semakin berkurang. Padahal, kalau kita mau jadi negara kaya, harus memanfaatkan puncak ini karena (penduduk) yang bekerja jumlahnya banyak, tetapi yang ditanggung sedikit,” katanya.
Puncak demografi ini lebih cepat, sebab adanya penurunan TFR (rata-rata angka kelahiran) juga lebih cepat. Dugaan sebelumnya, target TFR sebesar 2,1 (rata-rata ada 2,1 anak yang dilahirkan per satu perempuan) yang baru terjadi pada 2024 ternyata sudah terjadi pada 2020.
Akibatnya, jumlah penduduk usia kurang dari 14 tahun turun drastis. Sedangkan jumlah orang lansia meningkat. Akhirnya, jumlah angkatan kerja pun menjadi terbatas.
Akibatnya suatu negara, jika tidak bisa keluar dari middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) pada saat bonus demografi, setelah itu akan sulit keluar dari jebakan itu.
“Apabila ada pesan jangan sampai growing old before growing rich (jangan tua sebelum kaya), itu sebenarnya pesan yang sangat bijak dan untuk negara kita,” terangnya.
Kapan Berakhir?
Hasto menjelaskan setelah tahun 2035 diperkirakan periode bonus demografi ini sudah hilang.
“Karena itu, jika kita tak bisa memanfaatkan bonus ini, peluang untuk bisa kaya dan keluar dari middle income trup jadi sangat kecil. Jendela bonus demografi semakin sempit. Dari durasi waktu, memang hanya tinggal 10-15 tahun lagi,” ujarnya.
Jendela peluang bonus demografi ini biasanya terjadi ketika dependency ratio (rasio ketergantungan penduduk) di bawah 50 (kurang dari 50 orang usia tidak produktif bergantung kepada 100 orang produktif).
“Di tahun 2035, dependency ratio kita di angka 48. Pada 2040 diproyeksikan sudah menyentuh angka 50. Jadi, sebetulnya, bonus demografi sudah praktis sulit dinikmati untuk akselerasi pendapatan per kapita,” ungkapnya.
Tantangan Indonesia Emas 2045
Saat Indonesia Emas 2045, dependency ratio Indonesia sudah jauh di atas 50. Seharusnya saat itu sudah keluar dalam jebakan middle income trap.
Menurutnya kalau sekarang sukses menciptakan kualitas SDM (sumber daya manusia), maka Indonesia baru akan memanennya 20 tahun mendatang
“Namun, pada 2035, kita sudah mengalami aging population (penuaan penduduk). Saat itu banyak orang usia tua yang tidak produktif, miskin, dan tak berpendidikan, dan itu akan menjadi tanggungan generasi yang lebih muda,” katanya.
“World Population Review tahun 2022 menunjukkan, IQ (tingkat kecerdasan) kita di urutan ke-130. Kalau pada 2035 kita memiliki limpahan jumlah orang tua, sementara generasi di bawahnya yang menjadi pe nopang ternyata IQ-nya segini, itu akan menjadi beban,” ujarnya.
“Belum lagi tingkat pendidikan kita juga masih rendah. Kondisi ini mengkhawatirkan,” tambahnya.
Hasto juga menjelaskan berdasarkan data forum ekonomi dunia juga memperlihatkan tingkat high-skill employment (pekerja berketerampilan tinggi) Indonesia masih sangat rendah.
“Melihat kondisi ini, bagaimana Indonesia bisa menyiapkan, agar nantinya betul-betul menjadi Indonesia Emas Kita harus bisa memanfaatkan era bonus demografi seoptimal mungkin dan itu butuh effort (upaya) yang luar biasa,” ucapnya.
Langkah Intervensi
Hasto menjelaskan dengan kondisi ini mau tidak mau harus ada exit strategy (langkah strategis) untuk membuat generasi sekarang yang berusia 14 tahun ke atas bisa produktif.
Bagi mereka yang bisa sekolah harus bisa terus sekolah, bantuan untuk pendidikan sangat penting. Namun, bagi mereka yang tidak bisa sekolah sampai perguruan tinggi harus tersedia lapangan pekerjaan yang padat karya. Training, sekolah vokasi, dan penciptaan lapangan kerja jadi sangat penting.
Tingkat kewirausahaan juga diharapkan bisa mencapai 3,9 persen. Maksudnya, setiap 100 orang harus ada 3 sampai 4 orang yang menjadi wirausaha. Usaha ini pun harus yang bisa menyerap tenaga kerja.
“Selain itu, UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan industri rumah tangga juga harus didorong. Waktunya untuk kita bisa memanfaatkan bonus demografi tidak bisa ditawar lagi,” ungkapnya.
Intervensi Stunting, Kematian Ibu dan Anak Hingga Infrastruktur
Menurut Hasto masalah stunting ini belum selesai. Jadi, masalah stunting, ibu hamil, kematian ibu dan anak tidak bisa ditinggalkan. Kematian ibu dan anak juga penting karena memengaruhi kualitas SDM.
“Jika itu kita tinggalkan, nanti pada tahun 2040 profil kualitas SDM kita akan buruk. Sekarang ini saja situasinya sudah berat, maka itu bisa lebih berat lagi, lebih terpuruk jika profil kualitas SDM kita tak meningkat,” ungkapnya.
Masalah ini tidak bisa diabaikan. Hanya prioritas berikutnya, bagaimana kualitas ini bisa dioptimalkan. Misalnya, angka stunting sekarang masih 20 persen. Bagaimana yang stunting pun bisa diberikan pelatihan agar ada peluang kerja yang sesuai.
Alokasi anggaran juga bisa diarahkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang padat karya, baik melalui UMKM maupun industri rumah tangga. Jangan lupa yang usia 14 tahun ke atas perlu dimaksimalkan pendidikannya sampai kuliah.
“Saya tak mengabaikan pembangunan infrastruktur. Namun, kalau kita bisa mencerdaskan masyarakat, itu akan sangat menjanjikan. Sumber daya manusia akan jauh lebih hebat dibandingkan sumber daya alam. Jadi, perlu terus digali SDM ini,” ujar Hasto.
“Kalau anggaran bisa diarahkan ke sana (SDM), itu bisa menjadi bagian dari exit strategy untuk memetik bonus demografi,” pungkas Kepala BKKBN. (kjs)