Metro Kendari

Kades di Kolaka Ditetapkan Tersangka Pengrusakan Masjid, Pengacara Beberkan Sejumlah Fakta

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kepala Desa Hakatotobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Nurdin dan Istrinya bernama Irnawati ditetapkan tersangka, dalam kasus dugaan tindak pidana (TP) pengrusakan bangunan masjid. Penetapan tersangka terhadap pasangan suami istri ini, setelah adanya laporan polisi dari Hamid Talib selaku pelapor ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra pada 16 Februari 2022 lalu.

Kini, kedua tersangka mendekam di balik jeruji besi di Rutan Kolaka, sembari menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kolaka untuk penentuan nasib keduanya.

Namun, Kuasa Hukum terlapor, Andri Dermawan mengatakan, penetapan tersangka terhadap kliennya itu memiliki banyak kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta hukum sebenarnya.

Ia menilai kasus ini adalah bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak Polda dan Kejati Sultra. Di mana duduk perkaranya hanya soal pembongkaran masjid. Andre Dermawan menerangkan bahwa kronologisnya bukan seperti apa yang sudah dilaporkan oleh Hamid Talib.

Sebab diketahui, pembongkaran bangunan Masjid Desa Hakatotobu itu, berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah desa, tokoh agama, tokoh pemuda dan masyarakat setempat.

Kesepakatan itu ditempuh, usai adanya musyawarah bersama, membahas soal kondisi bangunan aasjid yang sebelumnya sebagai musala dibangun oleh perusahaan pengolah kayu PT Bina Mawahana Wisesa (BMW) itu, sudah tidak layak digunakan untuk ibadah. Apalagi kerap banjir ketika memasuki musim penghujan.

Masyarakat lalu menyepakti dilakukan pembangunan masjid baru yang lokasinya dipindahkan dekat dengan jalan raya, sebagaimana termuat dalam Berita Acara musyawarah Nomor: 421.2/08/2021 tanggal 12 Maret 2021. Setelah dana swadaya masyarakat terkumpul, kemudian mulai dilakukan pembangunan masjid baru pada bulan Januari 2022.

“Jadi setelah ada Masjid baru yang dinamakan Masjid Al Hijrah yang hampir rampung, kemudian dilakukan pembongkaran masjid lama oleh masyarakat Desa Hakatotobu pada bulan Maret 2022. Atas pembongkaran masjid lama tersebut oleh masyarakat Desa Hakatotubu, kemudian ada laporan masuk ke Polda soal dugaan pengrusakan,” ujarnya, Senin (26/9/2022).

Andre menjelaskan, dasar pelapor mengadukan kliennya ke Polda Sultra atas kasus dugaan pengrusakan tersebut, karena dia menganggap masjid itu berada di atas lahan miliknya dan bukti surat kepemilikan pelapor telah dijadikan sebagai salah satu alat bukti untuk menetapkan tersangka.

Namun setelah ditelusuri lebih jauh mengenai bukti kepemilikan lahan pelapor, ternyata banyak yang tidak sesuai dan saling bertentangan.

Berdasarkan kuitansi jual beli 1993 menerangkan bahwa Indra Sutjahja membeli tanah dari H. Djamaludin pada tanggal 16 April 1993, seluas 1,5 Ha yang terletak di Desa Sopura (kini bernama Desa Hakatotobu), senilai Rp1.350.000. Pembelian tersebut adalah bersifat pribadi bukan pembelian atas nama perusahaan PT BMW.

Namun anehnya, pada saat Indra
Sutjahja menjual tanah seluas 2 hektar senilai Rp1.000.000.000 tertanggal 13 November 2010 kepada pelapor, justru Indra Sutjahja menjual bukan atas nama pribadi, tetapi atas nama Lukman Priosetanto sebagai Direktur Utama PT BMW.

Kejanggalan lainnya, dalam Surat Kuasa 001/BMW 2010, kuasa dari Direktur Utama PT BMW kepada Indra Sutjahja yang menjadi dasar jual beli dengan pelapor, tidak ada satupun klausul yang menyebutkan bahwa Indra Sutjahja diberikan kuasa untuk menjual tanah. Tetapi hanya diberikan kuasa untuk mengurus atau menyelesaikan penyerahan lokasi basecamp kepada instansi/perusahaan yang bersangkutan.

“Sehingga menjadi pertanyaan apa yang menjadi dasar Indra Sutjahja menjual
tanah kepada pelapor karena dalam SK 001/BMW 2010 tidak ada klausul yang
menyebutkan bahwa Indra Sutjahja diberikan kuasa untuk menjual tanah PT
BMW,” tegasnya.

Demikian pula adanya perbedaan luas lahan antara kuitansi jual beli 1993 yang hanya 1.5 hektar dan pembuatan jual beli tanah (PJBT) tahun 2010 seluas 2 hektar. Kemudian tidak disebutkan mengenai batas-batas tanah, sehingga tidak jelas lokasi dan posisi objek tanah.

“Dari ketiga bukti surat pelapor yakni kuitansi jal beli 1993, PJBT 2010
dan SK 001/BMW 2010 ternyata tidak saling bersesuain dan justru saling
bertentangan sehingga patut diduga bahwa bukti-bukti tersebut adalah palsu atau setidak-tidaknya diragukan kebenarannya,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan, PT BMW selaku perusahaan pengolah kayu tidak memiliki hak atas tanah dan bangunan. Sebab, lokasi pembangunan basecamp termasuk masjid berada diarea lahan konsesi PT Antam Tbk.

Hal itu sebagaimana, tertuang dalam surat perjanjian Penggunaan Konsesi dan Fasilitas Pelabuhan Nomor: 06/244/KUNP/1991 Nomor : 013/BMW-LDR/VI/91 tertanggal 3 Juni 1991 tentang PT Antam Tbk memberikan izin kepada PT BMW untuk menggunakan lahan konsesi PT Antam Tbk guna pembangunan logpond (penampungan kayu) dan basecamp.

“Lokasi pembangunan logpond dan base
camp termasuk lokasi Masjid tidak masuk dalam areal Hak Pengusahaa Hutan (HPH) tetapi merupakan lahan konsesi PT Antam Tbk. sehingga sebelum dibangun logpond dan base camp termasuk mushola, PT BMW melakukan Perjanjian Penggunaan Konsesi,” tuturnya.

Jadi secara garis besarnya, lokasi pembagunan basecamp dan Masjid tersebut bukan milik H. Djamaludin yang sudah dijual, melainkan lahan konsesi PT Antam Tbk, yang kini sudah dikuasai oleh masyarakat sejak tahun 2001, setelah PT BMW berhenti beroperasi, dibuktikan dengan sertifikat hak milik.

Kemudian terkait masjid, awalnya berbetuk musalah kecil dari kayu yang dibangun oleh PT BMW untuk karyawannya. Kemudian tahun 1996 karyawan BMW patungan dana dan renovasi musala menjadi bangunan semi permanen.

Pada tahun 2007 dibangun permanen oleh PT PMS yang kemudian digunakan masyarakat Hakatotobu. Tiba-tiba pelapor mengklaim sebagai pemilik Masjid, sejak kapan terlapor membangun masjid sementara PT BMW juga tidak pernah menjual mesjid kepada pelapor.

“Kalaupun PT BMW masih merasa sebagai pemilik mesjid harusnya PT BMW yang keberatan dan melapor tapi faktanya PT BMW tidak melapor,” cetus Ketua DPW KAI Sultra ini.

Olehnya itu, Andri Dermawan mengatakan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya itu, banyak kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Dia pun menilai kasus ini adalah bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak Polda dan Kejati Sultra.

“Ini upaya kriminalisasi yang coba memaksakan laporan pelapor menjadi kasus pidana dan diteruskan ke pengadilan. Padahal nyatanya pelapor tidak mempunyai bukti yang
kuat dan sah terhadap objek perkara sehingga seharusnya dipastikan dahulu status kepemilikan objek perkara melalui gugatan Perdata/TUN,” tukasnya. (bds)

Reporter: Sunarto
Editor: Wulan

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button