Metro Kendari

Covid-19, Ramadhan, dan Krisis Pangan Nasional

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM- Judul tulisan ini menyangkut tiga hal krusial dalam situasi sekarang ini, bagaimana tidak, ketiga situasi tersebut secara kritis kita akan menghadapi situasi krisis pangan terutama beras secara nasional, karena ada situasi dimana Umat Islam akan melaksanakan pembayaran zakat 2,5 Kg beras per jiwa menjelang akhir Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.

Jumlah umat tersebut yang akan mengeluarkan zakat paling tidak sekitar 200 juta jiwa atau setara beras sebesar 500 ribu ton dalam bulan Mei ini diwaktu bersamaan serentak dibutuhkan. Hal ini akan menimbulkan problematika tersendiri terhadap posisi pangan nasional.

Menurut prediksi Menteri Keuangan Ibu Sri Muliyani bahwa pengangguran akan naik 5,2 juta orang diakibatkan oleh pandemik Corona lebih tegas lagi menjelaskan bahwa Gross Domestic Product (GDP) bergeser dari 5,3 persen diprediksi turun hingga 2,3 persen, sehingga berdampak pada sosial dan pembangunan Indonesia.

Berarti, kemungkinan terburuk angka kemiskinan akan naik lagi menjadi 3,78 juta orang miskin baru, yang sudah tidak memiliki pekerjaan dan sumber penghasilan, maka hal ini akan menggerogoti stok cadangan pangan rumah tangga termasuk masyarakat kelas menengah keatas. Parahnya lagi, dari penambahan orang miskin baru tersebut menyimpan stok cadangan pangannya di pasaran mengingat pola konsumsi pangan masyarakat miskin berbelanja harian, sehingga akan menyebabkan tingginya permintaan beras sebagai pangan pokoknya dipasar dan pada akhirnya akan berbuntut instabilitas harga pangan ditingkat masyarakat bisa jadi dapat menimbulkan krisis pangan beras yang berujung pada krisis sosial dan konflik horisontal.

Kebijakan penanganan Covid-19 oleh pemerintah, eskalasinya meningkat dan diperketat dengan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sampai ke daerah seperti beberapa kabupaten kota sudah melaksanakan karantina wilayah, sudah banyak diseluruh tingkatan hirarki pemerintahan bahkan sampai kedesa -desa.

DKI sebagai Magnitude pembangunan dan ekonomi terbesar sekaligus sebagai Pusat Ibukota Negara, lebih dulu melakukan PSBB sehingga aktivitas Kota Jakarta lumpuh total mengalami “slowdown” pergerakan ekonomi, termasuk seluruh infrastruktur ekonomi terhenti. Ini tentunya berdampak pada masyarakat miskin kota termasuk daerah kota penyangganya seperti Jabar, Jateng, Jatim, dan diikuti oleh kabupaten kota-kota di Indonesia.

Hal lain lagi, adanya kondisi masyarakat urban perkotaan yang telah melakukan “mudik” atau pulang kampung lebih awal dari biasanya mengingat di kota sudah tidak ada lagi sumber mata pencaharian untuk bertahan hidup memperlengkap suguhan peristiwa menyedihkan, menambah kuat posisi Covid-19 sebagai variable perontok tatanan kehidupan sosial ekonomi manusia.

Ditengah serangan wabah covid pemerintah nampak tidak mampu menunjukkan kemampuannya untuk melakukan mitigasi bencana dan mitigasi ekonomi mengingat keduanya saat ini merupakan ancaman yang datang bersamaan, dan kualitas bencananya sama beratnya, semestinya kedua duanya memiliki road map mitigasi yang harus dijelaskan kepada Masyarakat, semisal sikap masyarakat terhadap corona jika bencana berlangsung selama enam bulan, atau satu tahun bahkan lebih.

Harus ada Way Out, kalau seperti sekarang ini bisa jadi masyarakat tidak ada persiapan untuk mengahadapi situasi sulit, padahal kali ini “policy maker” kita wajib berhasil jika gagal taruhannya adalah colaps dalam skala besar.
Surplus Produksi dan Konsumsi Nasional
mari kita hitung-hitungan surplus produksi pangan nasional, meskipun ini mungkin agak teoritis tapi perlu juga kita kedepankan, karena produksi dan ketersediaan beras harus dijamin pemerintah secara berkesinambungan, itu perintah Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012, pada pasal 46 ayat (2), bahwa Pemerintah Republik Indonesia selaku pemangku kedaulatan serta pengelola negara berkewajiban (liability) untuk menjamin ketersediaan (availability), keterjangkauan (affordability) dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi warga negaranya maka produksi pangan dalam negeri harus mampu tersedia.

Kompas.com menyampaikan Data BPS tahun 2018, menunjukkan angka luas lahan produksi 10,9 juta hektar dengan perkiraan produksi Gabah Kering Giling (GKG) sebesar 56, 54 juta ton atau setara beras 32,42 juta ton pertahun, bila dikurangi dengan angka konsumsi nasional pertahun sebesar 29,6 juta ton, maka surplus produksi beras sebesar 2,8 juta ton pertahun.

Pertanyaanya kemudian, dimana beras tersebut berada?, menurut berita yang dikeluarkan yang dirilis Kementan bahwa surplus beras tersebut sebagian besar banyak dikuasai masyarakat (Petani, Penggilingan, Pedagang dan Konsumen) dan sisanya dikuasai pemerintah (Bulog, CBP dan BPNT), mengacu pada hasil survey BPS (2015) keberadaan Beras tersebut ada di Rumah Tangga (47,57%), Bulog (19,30%), Pedagang (18,32%), Penggilingan (8,22%) dan Horeka (6,59).

Dari data diatas, bila kita pertanyakan kembali untuk situasi selama bulan Mei 2020, dan bila kita asumsikan kebutuhan konsumsi rata-rata perbulan nasional diperkirakan sama dengan Konsumsi Nasional tahun 2017 sebesar 29,50 juta ton, setelah di bagi rata selama 12 bulan, maka ada sebesar 2,46 juta ton kebutuhan konsumsi nasional perbulan.

Artinya surplus produksi beras nasional tersebut diatas hanya cukup di konsumsi dalam 1 (satu) bulan saja, untuk itu, bagaimana memitigasi adanya beras yang harus tersedia dibulan-bulan selanjutnya, maka saat ini benar-benar negara dalam keadaan Krisis pangan.

Merumuskan kembali kedaulatan pangan ditengah pandemi,
Pemerintah telah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani Covid-19 di dalam negeri di klaim untuk pembiayaan pemulihan program ekonomi nasional. Namun dana tersebut belum ada anggaran yang mengalokasikan untuk ketersediaan pangan beras untuk saat ini, padahal ketersediaan beras yang terkonsentrasi cukup besar dan siap salur stok yang dikuasai hanya dari Bulog di perkirakan perkiraan 1,2 juta ton dan hanya bertahan 15 hari atau setengah bulan, sedangkan stok yang lainnya berada di penggilingan dan pedagang, tetapi stok tersebut sulit di kendalikan.

Stok Rumah Tangga akan semakin menipis sampai dengan menjelang Hari Raya nanti karena permintaan Ummat untuk menunaikan Zakat akan meningkat. Tidak mengherankan tiba-tiba Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam rakortas akhir April lalu, bahwa Indonesia dalam kekurangan pangan strategi alias kita sedang telah mengalami krisis pangan.

Jika selama ini pemerintah seringkali gagal dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pada beberapa sektor, maka kali ini, pada “sektor pangan” pemerintah wajib berhasil merumuskan formulasi yang tepat disertai kedisiplinan tinggi dalam implementasi kebijakan “model tata kelola pangan ditengah pandemi”. Saat ini seluruh negara yang terdampak Covid-19, diuji kemampuan infrastruktur dan suprastruktur pangan internalnya, mereka harus mampu menghidupi dirinya sendiri, jelas dipastikan bahwa negara-negara yang dulunya menjadi pemasok beras bagi negara lain, kali ini mereka akan berpikir berbeda, tidak penting lagi memburu devisa jika beras dalam negeri terancam, kira-kira Policy Maker dibeberapa negara sementara berpikir kearah sana, jika tebakan kita benar, maka kondisi kita pun tidak jauh berbeda dengan mereka kalau pun ada pemerintah juga tidak punya dana untuk hal itu.

Alternatifnya, suka atau tidak konsentrasi dan kekuatan meski dibagi, pemerintah memastikan mitigasi covid berjalan, namun dalam waktu yang sama faktor produksi, faktor distribusi dan stabilitas harga beras tetap terjaga, jangan sampai lapisan pemerintah kita yang berada street level beraucracy terlalu berfokus pada pandemi akhirnya kita kecolongan menyiapkan beras sebagai pangan pokok utama masyarakat yang ujung tombaknya berada pada petani.

Penulis: Dr. Laode Amijaya Kamaluddin

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button