KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Sidang perkara dugaan korupsi belanja jasa konsultasi penyusunan studi kelayakan Bandar Udara Kargo, dan Pariwisata di Kecamatan Kadatua, Buton Selatan (Busel), Sulawesi Tenggara (Sultra), masuk agenda pemeriksaan saksi ahli di PN Tipikor Kota Kendari, Kamis (26/4/2024) malam.
Pemeriksaan saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Buton, untuk memberikan kesaksian dalam sidang dengan terdakwa Eks Bupati Busel, La Ode Arusani (LAO) Kapala Dinas Perhubungan (Dishub) BuselnErick Octora Hibali Silondae (EOHS) PPK Dishub Busel AR, dan Direktur PT Tajwa Jaganata CHES.
Dua saksi yang ahli dihadirkan, Hasbullah Syam, ahli Perencanaan Pembangunan Wilayah Universitas Halu Oleo (UHO) Kota Kendari, dan saksi ahli Pembangunan Bandara Kementerian Perhubungan (Menhub) Republik Indonesia (RI) Ishak, melalui video conference (Vicon).
Menurut Hasbullah Syam, setelah membaca dokumen perencanaan studi kelayakan pembangunan Bandar Udara Kargo dan Pariwisata Kadatua, Busel, ada variabel yang tak terpenuhi atau tidak layak.
“Saya kan melihat dari sisi ilmu dan baca dokumen, dengan mengaitkan hal ini (perkara) ya, itu sudah saya paparkan, dan saya kira majelis dan jaksa sudah memberikan respon,” ujar dia.
Kendati demikian ia mengakui, ada beberapa syarat dokumen yang ia tidak ketahui, dan itu telah diperlihatkan penasihat hukum terdakwa eks Bupati Busel, bahwa semua syarat studi kelayakan sudah melalui proses.
“Itulah faktor terakhir, yang dikatakan tidak layak. Tapi kan sudah dijustifikasi tadi, ada beberapa dokumen memang yang saya tidak baca, dan dokumen itu diperlihatkan, lintas sektor sampai dengan pengisian itu, saya fikir nanti akan menjadi bahan pertimbangan majelis dan JPU,” kata Dosen Fakultas Pertanian UHO Kota Kendari ini.
Sementara kuasa hukum terdakwa Direktur PT Tajwa Jaganata, Andre Dermawan menilai, kesaksian dua ahli yang memberikan pendapatnya terhadap perkara yang menjerat kliennya, sebagai titik balik membuka tabir dan fakta sebenarnya.
Dimana, kliennya dijerat Jaksa atas dugaan studi kelayakan pembangunan Bandar Udara Kargo dan Pariwisata Kadatua ini tidak layak, dan dinilai telah merugikan negara. Sementara menurut dia, pernyataan saksi ahli justru memberi isyarat, jika kliennya tidak melalukan kesalahan dalam projek perencanaan ini.
Misal, sebagaimana yang diperkarakan hingga menjerat kliennya itu, masalah jarak yang tidak sesuai Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) dengan jarak minimal 120 kilo meter (Km).
Sementara jawaban dari ahli tersebut, kata Andre, tegas mengatakan itu hanya berlaku untuk bandara umum ke bandara umum lainnya, tidak berlaku antara bandara umum dan bandara khusus.
Sedangkan status Bandar Udara Kargo dan Pariwisata Kadatua sendiri akan diajukan sebagai bandara khusus. Dia mencontohkan lagi, misal pembangunan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sekarang berjalan, dengan jarak Bandara komersil di Balikpapan.
Katanya, jarak antara kedua bandara yang berstatus bandara umum tersebut hanya berjarak 24 Km. Jika merujuk pada aturan, itu sudah tidak sesuai, tapi faktanya pembangunannya masih berlangsung hingga saat ini.
“Jadi parameter standar itu tidak bisa digunakan. Apalagi Bandara Kadatua ini mau diajukan statusnya untuk bandara khusus kargo dan pariwisata. Bandara umum saja misalnya Bandara Betoambari dengan Bandara Sugimanuru itu jaraknya itukan cuman 80 Km. Aturannya kan harus 120 Km, tapi nyatanya dibangun,” tutur dia kepada awak media ini.
Kemudian, lanjut dia, keanehan lainnya akan kliennya ditetapkan tersangka, terkait masalah penetapan lokasi pembangunan Bandar Udara Kargo dan Pariwisata Kadatua. Sementara proyek pembangunan bandara baru tahap studi kelayakan, dan setelah itu baru diajukan ke Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Menhub.
Sehingga yang berhak menentukan layak dan tidaknya rencana pembangunan Bandar Udara Kargo dan Pariwisata Kadatua, Dirjen Perhubungan Menhub, bukan instansi lain, sekalipun aparat penegak hukum (APH).
Dimana, jelas diterangkan di Permenhub Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata Cara dan Prosedur Penetapan Lokasi Bandar Udara, BAB V Pasal 40 ayat (2) huruf b bahwa persetujuan Direktur Jenderal terhadap kelayakan lokasi bandar udara.
Namun yang dihadirkan JPU saksi ahli dari Kemenhub, yang statusnya hanya pegawai dibawah dirjen, justru mengatakan bahwa studi kelayakan tersebut tidak layak, sedangkan tegas dia, kliennya belum mengajukan ke Dirjen Perhubungan sama sekali.
Ditambah, soal hitungan Badan Pemeriksa Keungan Provinsi (BPKP) Sultra adanya total kerugian, karena dianggap tidak layak, dan tidak bisa digunakan. Padahal, yang berhak mengeluarkan pernyataan tidak layak Dirjen Perhubungan.
“Lah kok kamu bisa mengambil alih dirjen untuk menyatakan itu layak dan tidak layak. Sedangkan belum ada pernyataan dirjen bahwa ini layak atau tidak, kan baru akan diajukan, nanti dinilai oleh dirjen. Bila dikatakan layak baru akan dikeluarkan rekomendasi penetapan lokasi, begitupula sebaliknya,” ungkap Andre.
Andre pun menganggap bahwa ini terlalu dini, dan prematur untuk menetapkan kliennya tersangka, hanya dengan kesaksian-kesaksian pihak yang dinilai tidak berkompeten untuk memberikan keterangan.
Contoh lainnya, seperti saksi ahli yang JPU hadirkan dari UHO Kendari, tiba-tiba menyebut lokasi pembangunan lokasi bandara tidak layak. Padahal setelah didalami soal keilmuannya bukan pada perencanaan pembangunan, melainkan ilmu tanah.
Keracunan lainnya, saat Andre Dermawan menanyakan bagaimana dengan hasil penyelidikan tanah, saksi katakan layak. Artinya, dengan pernyataan tersebut, sudah mendiskualifikasi pernyataan yang dilontarkannya bahwa lokasi pembangunan tidak layak.
“Justru diapsek ahli tanahnya, dia bilang layak. Bahkan ahli ini juga menyinggung soal aspek ekonomi dan penyangga pendukung keberadaan bandar udara ini nantinya, padahal bukan keahlian. Nah jika berbicara faktor ekonomi dan penyangga disana banyak pelabuhan umum dan pelabuhan perikanan, untuk apa negara buat pelabuhan ratusan miliar disana, kalau memang potensi ekonominya tidak ada, kan aneh pernyataan-pernyataan ini,” imbuh pria Andre.
Selanjutnya, dia menerangkan lagi soal pembangunan bandar udara yang tidak tercover didalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Busel. Menurut Andre perlu dipahami, sebelum Kabupaten Busel mekar, dan masih gabung di Kabupaten Buton, RTRW Provinsi Sultra Nomor 2 Tahun 2014, tertera bahwa di Kabupaten buton ada rencana pembangunan Bandara. Jadi, tak ada soal bagi dia, karena dirinya menggangap Busel pada saat itu masih bagian dari Buton.
Apalagi saat ini, rancangan draf RTRW Kabupaten Busel sementara berproses, dan sudah ada rekomendasi dari Kementerian. Bahkan tinggal menunggu proses penyelesaian sengketa antara batas Sultra dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Kalau ini sudah selesai, maka RTRW tersebut sisa disahkan.
“Diakui juga ahli yang dihadirkan JPU, katanya jika sudah ada draf RTRW yang lagi diproses, dikonsultasikan itu sudah bisa (Menyusun studi kelayakan pembangunan Bandar Udara Kargo dan Pariwisata Kadatua),” ucapnya.
Olehnya itu, berangkat dari fakta-fakta sidang yang sementara berlangsung, Andre Dermawan mengatakan Kejari Buton ada tendensius untuk memaksakan menetapkan kliennya termaksuk tiga terdakwa lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi, yang konon kerugian ditimbulkan Rp1,6 miliar.
“Ini memaksakan, dan terlalu prematur menetapkan tersangka. Toh juga masih proses studi kelayakan, dan ketika saya tanya ke ahli, apakah studi kelayakan berlaku hari ini atau tidak? Ahli rata-rata mengatakan studi kelayakan perencanaan itu bisa berlaku sampai 20-30 tahun kedepan, adapun ada kekurangan kan nanti ada rekomendasi saran dari pihak terkait,” tukasnya.
Sementara itu, salah satu tim JPU Kejari Buton, yang hendak dimintai keterangan oleh awak media ini, enggan untuk berkomentar.
“Nanti ya, kami komunikasi dulu dengan atasan, kan harus satu suara,” katanya
Reporter: Sunarto
Editor: Wulan