Akibat Aktivitas Penambangan Ilegal di Mandiodo Konut, Negara Merugi Rp5,7 Triliun
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kejaksaan Tinggi (Kejati) menyebut kerugian negara akibat aktivitas tambang ilegal di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) mencapai Rp5,7 triliun.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra Partris Yusrian Jaya mengatakan, kerugian negara tersebut terhitung sejak dimulainya aktivitas penambangan di Blok Mandiodo, Konut.
Menurut dia, hitungan kerugian negara ini berdasarkan hasil audit pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diterima Kejati Sultra.
“Dari hitungan BPK, potensi kerugian ekonomi negara Rp5,7 triliun (angka sementara) dan bukan atas permintaan penyidik,” ujar dia ditemui saat menghadiri seminar di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Kamis (13/7/2023).
Sementara lanjut Patris, untuk kerugian ekonomi negara yang ditimbulkan sejak adanya Kerjasama Operasi (KSO) Mandiodo antara PT Antam dan PT Lawu Agung Mining (LAM) yang diketuai Perusahaan Daerah (Perusda) Sultra, belum diketahui besarnya.
Sebab, yang penyidik minta untuk dihitung kerugian yang dimaksudkan adalah sejak hadirnya KSO Mandiodo antara PT Antam dan PT Lawu. Namun yang dikeluarkan BPK hitungan secara menyeluruh sejak pertama kali aktivitas penambangan dilakukan di Blok Mandiodo.
“Yang kami sidik saat ini sejak PT Antam ber-KSO dengan PT Lawu dan Perumda. Sementara hitungan itu adalah hitungan dari awal sejak Blok Mandiodo dilakukan aktivitas penambangan,” katanya.
Sehingga dari hasil perhitungan kerugian ekonomi negara sementara ini, pihaknya akan memisahkan berapa kerugian yang dialami negara sebelum dan setelah hadirnya KSO Mandiodo.
Kejati Sultra saat ini tengah melakukan proses penyidikan mulai dari pemeriksaan saksi-saksi hingga penetapan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Antam di Blok Mandiodo, Konut.
Mereka yang ditetapkan tersangka dalam kasus ini, yakni Direktur PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) Andi Andriansyah, Manajer PT Antam Konut, Hendra Wijianto, Pelaksana Lapangan (PL) PT Lawu, Glen dan Direktur Utama (Dirut) PT Lawu, Ofan Sofwan.
Penetapan tersangka terhadap empat orang ini diduga telah melakukan penambangan ilegal dan penjualan ore nikel di konsensi PT Antam.
Sebelumnya PT Antam bekerja sama dengan PT Lawu dan Perusda untuk menggarap 22 hektare lahan milik PT Antam melalui KSO Mandiodo.
Setelah itu, PT Lawu merekrut 38 perusahaan atau kontraktor mining untuk menambang bijih nikel di area kawasan PT Antam. Perjalanannya, ternyata tidak seperti dalam kontrak kerja sama.
Justru para penambang ini memperluas jangkauan penggalian hingga menerobos kawasan hutan lindung sekitar 157 hektare. Padahal luasan yang hanya boleh digarap berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) PT Antam seluas 40 hektare.
Kemudian, yang seharusnya bijih nikel yang sudah ditambang PT Lawu melalui perusahaan kontraktor mining dijual ke PT Antam, tapi kenyataannya hanya sebagian kecil yang diserahkan ke PT Antam dan sisanya dijual ke perusahaan smelter.
“Sisanya dijual di smelter lain dengan menggunakan dokumen palsu atau terbang milik PT KPP dan beberapa perusahaan tambang lainnya,” kata Patris. (bds)
Reporter: Sunarto
Editor: Biyan