Syarat Calon Ketua KONI Sultra Diduga Ganjil dan Untungkan Salah Satu Calon
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Penetapan syarat calon Ketua Komite Nasional Olah Raga Indonesia (KONI), Sulawesi Tenggara diduga penuh keganjilan. Tim Penjaringan dan Penyaringan (TPP) calon Ketua KONI juga dinilai diskriminatif dan menguntungkan salah satu calon tertentu.
Hal itu diungkapkan oleh calon Ketua KONI Sultra, yang juga Ketua Cabang Olahraga (Cabor) Wushu, Achmad Wahab. Ia mengaku keberatan dan mengajukan protes terhadap beberapa persyaratan yang ditetapkan atau dihilangkan.
Ahmad membeberkan beberapa keganjilan itu. Pertama, dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) KONI Sultra pada 30 Agustus 2019, salah satunya membahas tentang syarat calon. Dimana, beberapa landasan atau acuan syarat calon ketua dari hasil RAT KONI Pusat dihilangkan atau tidak disetujui.
Beberapa draf acuan hasil RAT KONI Pusat yang dihilangkan oleh Tim TPP antara lain : sebagai calon Ketua KONI harus berwarga negara Indonesia, dan berdomisili di Sultra, dibuktikan dengan KTP dan KK.
Kedua, calon Ketua KONI harus pernah menjabat sebagai Ketum KONI kabupaten/kota atau Ketum Pengprov Cabor, atau pernah menjabat unsur pimpinan KONI provinsi minimal 1 periode kepengurusan dan dibuktikan dengan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua umum organisasi 1 tingkat di atasnya.
“Jadi acuan itu dhilangkan, atau tidak disetujui dalam RAT. Padahal dua poin tersebut sangat penting. Sebab bagaimana bisa pengelolaan KONI Sultra berjalan efektif jika ketua terpilih nanti tidak berdomisili di Sultra. Apalagi kalau tidak punya pengalaman khusus di bidang olah raga,” jelas Ahmad.
“Contohnya, misal calon Ketua KONI Ibu Agista. Sesuai KTP, beliau tidak berdomisili di Sultra dan tidak pernah menjabat sebagai ketua khusus pada bidang olah raga. Tapi karena poin syarat dihilangkan, dia dengan mudah bisa diloloskan,” sambungnya.
Lalu kejanggalan lain menurut Ahmad adalah draf rancangan syarat calon yang ditetapkan dalam RAT sangat berbeda dengan pelaksanaan yang dilakukan oleh Tim TPP. Dalam suratnya, Tim TPP menjelaskan bahwa apabila Ketua Umum KONI kabupaten/kota dan ketua umum pengurus cabor berhalangan hadir dapat didelegasikan kepada ketua harian/unsur wakil ketua, bersama sekretaris umum masing – masing bertanda tangan.
Padahal, dalam RAT menjelaskan apabila ketua umum KONI kabupaten/kota dan ketua umum cabor provinsi berhalangan hadir dapat didelegasikan kepada sekretaris umum dan juga bisa bertanda tangan.
“Dalam RAT itu dijelaskan bisa sekretaris umum yang bertandatangan jika ketua umum berhalangan hadir. Tidak ada tambahan klausul ketua harian/unsur wakil ketua juga bisa bertandatangan seperti dalam surat Tim TPP. Jadi memang ditambahkan klausulnya oleh Tim TPP,” katanya.
“Akibat tambahan klausul yang ditetapkan tim TPP, kami sebagai calon, mulai dari pendaftaran hingga saat ini tidak memperoleh tanda tangan dukungan ketua/ketua harian dan wakil ketua sehingga surat dukungan kami dianggap tidak sah dijadikan syarat pencalonan,” imbuhnya.
Kemudian, keganjilan lain adalah soal hak suara dalam pemilihan Ketua KONI Sultra yang dipisahkan dari unsur KONI 17 kabupaten/kota dan suara cabor.
Dalam keputusan yang dianggap sah, tim TPP mensyaratkan agar calon ketua KONI harus mendapat dukungan 30 persen atau sama halnya harus mendapat 6 dukungan dari 17 KONI kabupaten/kota yang ada. Dan juga disyaratkan harus mendapat dukungan 30 persen atau 12 dukungan dari 37 cabor yang ada.
“Kenapa tidak disamakan saja hak suaranya. Mengapa meski dipisah soal suara dukungan. Jadi kita disyaratkan dapat 30 persen dukungan dari KONI kabupaten/kota dan dapat dukungan 30 persen dari cabor yang ada. Oleh TPP dianggap tidak sah, kalau kita dapat dukungan 30 persen hanya dari cabor saja. Jadi harus dapat juga dukungan 30 persen dari KONI Kabupaten/kota. Kenapa tidak digabung saja,” tutupnya.
Reporter: Sunarto
Editor: Rani