Nelayan Pulau Katela Mengeluh Hasil Tangkapan Berkurang Sejak Alat Tangkap Perre-Perre Beroperasi
MUNA BARAT, DETIKSULTRA.COM – Nelayan Pulau Katela, Kabupaten Muna Barat resah karena hasil tangkapan mereka menurun sejak alat tangkap jenis perre-perre beroperasi.
Mustamin, salah satu nelayan setempat mengatakan, alat tangkap ikan tersebut sangat meresahkan sebab dapat mengancam ekosistem laut, khususnya ikan di Selat Tiworo, Kabupaten Muna Barat.
Selain itu, alat tangkap ikan jenis bagang ini juga dinilai membuat penghasilan nelayan tradisional berkurang. Pasalnya, alat tangkap tersebut mampu menghasilkan ikan mencapai ratusan kilo bahkan kurang lebih satu ton, sehingga hal ini membuat nelayan sekitar resah.
Sejak 2023 lalu alat tangkap ini telah beroperasi, sehingga berdampak pada penghasilan nelayan pesisir, utamanya di Pulau Katela. Penghasilan nelayan yang dulunya menghasilkan ikan tiga hingga empat ember, namun sejak beroperasinya alat tangkap tersebut nelayan sudah tak bisa menghasilkan ikan seperti jumlah biasanya.
“Kadang kita ini tidak dapat ikan,” ungkapnya, ditemui Jumat (19/1/2024).
Menurutnya, alat tangkap tersebut sangat berbahaya. Selain menurunkan penghasilan nelayan sekitar, juga mampu mengurangi ekosistem ikan akibat penangkapan yang berlebihan. Terlebih, alat tangkap ini menggunakan GPS yang mampu mendeteksi kerumunan ikan di laut.
Kemudian alat tangkap ini memiliki ratusan lampu dengan daya yang sangat besar dan menyerupai alat setrum, sehingga ikan yang terperangkap pasti semua pingsan bahkan mati, baik itu ikan kecil maupun yang besar.
Dengan begitu, otomatis penggunaan alat tangkap tersebut mengancam punahnya ikan di wilayah tersebut sebab telur dan anak ikan akan ikut hilang.
“Jika ini terjadi maka berdampak pada kelangsungan hidup nelayan Desa Katela,” ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan nelayan lainnya, Edi. Ia mengaku jika alat ini dibiarkan beroperasi selama dua atau tiga bulan, maka bisa jadi masyarakat Desa Katela mati kelaparan, karena di Pulau katela tidak memiliki lahan untuk berkebun, sehingga hanya mengandalkan hasil nelayan.
“Jadi kalau ikan mulai langka maka kelangsungan hidup nelayan Desa Katela terancam,” ungkapnya.
Edi katakan, alat tangkap perre-perre ini asalnya dari Sulawesi Selatan. Alat ini masuk di Mubar sejak awal 2023 yang lalu. Serta alat ini diduga dikelola oleh oknum pengusaha ikan di Desa Mandike, dan alat tangkap ini diperkirakan enam unit dengan harga Rp100 juta per unit.
Sebelumnya, alat tangkap ini pernah beroperasi di wilayah Bulukumba. Namun nelayan di wilayah tersebut juga menolak.
Atas keresahan itu, Edi pernah menyampaikan keluhan tersebut ke dinas terkait, sehingga pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Muna Barat telah melakukan pemanggilan sebanyak dua kali untuk mengadakan pertemuan, namun pemilik alat tangkap tersebut tidak pernah hadir.
“Ini kita dijanji lagi mau adakan pertemuan tapi sampai saat ini pertemuannya tidak pernah dilakukan,” ujarnya.
Atas persoalan itu nelayan Desa katela berharap kepada Pemda Muna Barat agar melihat masalah ini secara serius dan tegas, karena jika alat ini dibiarkan maka bukan hanya nelayan Desa Katela yang terancam kelaparan, pasti wilayah pesisir yang lain juga akan merasakan hal yang sama.
Kepala Bidang Alat Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Muna Barat, Saluddin mengatakan bahwa alat tangkap jenis perre-perre diduga melanggar zonasi wilayah tangkap, sebab masuk di wilayah nelayan tradisional, sehingga bisa diproses hukum.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 136 Tahun 2022, menyatakan bahwa wilayah alat moderen seperti alat tangkap tersebut masuk di jalur 1 B atau sejauh empat mil dari pulau terdekat.
“Satu mil itu sejauh 1,6 kilometer, jadi kalau empat mil, berarti wilayah penangkapan alat tangkap itu harus sejauh 6 kilometer lebih dari pulau terdekat,” terangnya.
Namun, yang memiliki kewenangan terkait hal tersebut adalah Pemprov Sulawesi Tenggara. Pemda Muna Barat hanya sebatas melakukan pembinaan misalnya proses mediasi yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bahwa kabupaten tidak punya wilayah laut. Olehnya itu urusan izin, pemanfaatan ruang laut, itu ada di provinsi.
Pihaknya telah menyampaikan secara lisan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Kabid Pengawasan. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut, sehingga pihaknya mengaku susah untuk mengambil tindakan.
“Karena permasalahan ini dialami oleh masyarakat kita, maka kita lakukan pembinaan pada kelompok masyarakatnya saja, tetapi pemanfaatan ruang lautnya ada di provinsi,” terangnya.
Selanjutnya, nelayan Desa Katela juga pernah mengamankan alat tangkap perre-perre karena masuk wilayah tangkap nelayan tradisional Desa Katela. Namun pemilik perre-perre tidak terima dan langsung melaporkan nelayan Desa Katela ke Polsek Tiworo Kepulauan.
Pihak DKP juga masih menunggu informasi terkait penyelesaian masalahnya. Tetapi jika berbicara soal pokok masalah, harusnya pihak kepolisian juga mengundang pihaknya supaya bisa dijelaskan secara teknis bahwa masalah ini sudah pernah dilakukan mediasi, namun pemilik alat tangkap perre-perre tidak pernah hadir dalam proses mediasi.
Kemudian soal mengamankan alat tangkap itu, nelayan desa katela sudah melakukan langkah yang tepat karena telah masuk di wilayah tangkap tradisional dan otomatis telah melanggar, meskipun oknum tersebut tidak menghadiri proses mediasi.
Berdasarkan Permen Kelautan Nomor 137 Tahun 2022 itu jelas, bahwa perre-perre adalah alat tangkap dengan kategori ramah lingkungan, tetapi jalurnya lain karena lampunya terlalu besar, maka jalurnya satu B ke atas atau empat mil ke atas.
Alat tangkap ini sama dengan bagang, hanya memang berkapasitas lampu. Menurut nelayan Desa Katela jika pengguna alat tangkap tersebut sudah selesai menangkap di wilayah Katela, kadang kala banyak ikan yang mati.
“Makanya perlu penyelidikan, jangan sampai mereka menggunakan strom dan sebagainya, alat tangkap itu juga berbahaya,” tukasnya. (bds)
Reporter: La Ode Darlan
Editor: Biyan