Diduga Abaikan MoU dengan Masyarakat Lingkar Tambang Laonti, Ini Kata Humas PT GMS
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kesepakatan kerja sama atau memorandum of understanding (MoU) antara PT GMS dan masyarakat lingkar tambang diduga tidak direalisasikan dengan baik oleh pihak perusahaan.
Ketua Dewan Perwakilan Masyarakat untuk Hukum dan Pertambangan (DPM Hutan) Kecamatan Laonti, Muhammad Roy mengatakan, terdapat berbagai hal yang menjadi kewajiban PT GMS maupun poin perjanjian yang dimuat dalam pasal terpisah, yang sampai saat ini tidak direalisasikan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
“Salah satunya yaitu tidak adanya pelaksanaan reklamasi terhadap lubang bekas galian tambang, bahwa pelaksaan reklamasi tertuang dalam pasal 2 huruf C nomor 1 surat perjanjian kerja sama atau MoU yang berbunyi ‘pihak pertama berkewajiban untuk melakukan reklamasi pada kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata’,” bebernya di Kota Kendari, Selasa (28/9/2021).
“Memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya, mekanisme dan pengelolaannya diatur berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku,” tambahnya.
Atas dasar tersebut, PT GMS dinilai melakukan pembiaran terhadap lubang bekas galian dan mengabaikan MoU serta diduga melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018, tentang pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik dan pengawasan pertambangan mineral dan batubara.
Selanjutnya, kata dia, dalam pasal 2 huruf A nomor 1 berbunyi ‘pihak pertama berkewajiban untuk merekrut, mengakomodir dan memprioritaskan masyarakat lingkar tambang sebagai tenaga kerja di PT GMS sesuai kebutuhan perusahaan, baik tenaga kerja kantor maupun tenaga kerja lapangan berdasarkan kemampuan dan keahlian yang dimiliki.
Ia menjelaskan, masyarakat lingkar tambang yang dimaksud adalah masyarakat empat desa yakni Desa Sangi-sangi, Ulusawa, Tue-tue dan Desa Lawisata sebagaimana devinisi lingkar tambang yang dijelaskan dalam MoU bahwa lingkar tambang adalah wilayah IUP PT GMS yang menjadi objek kegiatan penambangan.
Jika dikomparasikan dengan fakta di lapangan maka sangat jelas bahwa dalam perekrutan karyawan, PT GMS tidak memprioritaskan masyarakat lingkar tambang sesuai dengan perjanjian yang ada.
“Saya pikir bahwa ini adalah salah satu penyebab terjadinya gejolak sosial di masyarakat,” ujar Muhammad Roy.
Selanjutnya, kata dia, dalam beberapa bulan ini terdapat banyak aduan masyarakat terkait dengan upah dan kontrak kerja, sehingga atas dasar itu pihaknya menduga bahwa PT GMS telah mengabaikan MoU tersebut.
Sebab terdapat poin yang menjelaskan tentang tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan atau tenaga kerja, yaitu pada pasal 2 huruf A nomor 4 yang berbunyi pihak pertama bersedia menerapkan upah minimum regional (UMR) dan hak lainnya kepada setiap karyawan atau pekerja, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Atas dasar tersebut kami menduga bahwa PT GMS telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Olehnya itu, kami mendesak Disnakertrans Provinsi Sultra untuk melakukan inspeksi di lokasi PT GMS guna memastikan hak-hak karyawan atau tenaga kerja terpenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan,” katanya.
Lebih lanjut Roy menegaskan agar PT GMS tidak selalu menyalahkan aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat setempat. Sebab, aksi yang dilakukan tentu dilandasi alasan yang jelas.
Tak hanya itu, Roy juga menilai sejatinya manajemen PT GMS yang memicu lahirnya konflik horizontal di tengah masyarakat karena telah mengambil banyak sikap di luar dari ketentuan MoU.
“Memang benar dalam MoU tersebut dijelaskan bahwa masyarakat lingkar tambang selaku pihak kedua berkewajiban menjaga keamanan pihak pertama, namun bukan berarti masyarakat tidak diperbolehkan untuk melakukan aksi unjuk rasa, apalagi jika PT GMS telah melenceng dari surat perjanjian kerja sama dan melanggar pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik,” tegas Roy.
Pihaknya juga meminta DPRD Provinsi Sultra dan instansi terkait untuk memberikan sanksi tegas kepada PR GMS atas pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah perairan Kecamatan Laonti.
“Kami mendukung DPRD Sultra untuk segera menerbitkan rekomendasi penghentian aktivitas PT GMS,” tutupnya.
Sementara Humas PT GMS, Airin Shakoya menyatakan permohonan maaf kepada masyarakat Laonti karena belum dapat memenuhi permintaan kompensasi tersebut karena pendapatan perusahaan menurun akibat cuaca buruk.
“Kami juga tidak bisa memberikan kompensasi jika tidak jelas dasarnya misalkan pendapat dari pihak yang berkaitan. Jika diberikan kompensasi juga pertanyaanya sampai kapan batas waktunya, karena tidak dijelaskan,” bilangnya.
Kemudian, kata dia, pihaknya masih fokus untuk merealisasikan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
“Kami berharap masyarakat lingkar perusahaan PT GMS dapat bersinergi dengan baik bersama perusahaan,” ucap Airin.
Airin juga menjelaskan, PT GMS belum bisa memenuhi ganti rugi atau kompensasi yang diminta masyarakat Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) senilai Rp3 juta per bulan untuk setiap kepala keluarga terhitung untuk empat desa.
Hal itu terkait adanya kapal tongkang milik PT GMS yang hampir karam di dekat Jetty pada 30 Mei 2021 lalu. Kemudian masyarakat meminta untuk diberikan kompensasi kepada nelayan karena menganggap apa yang terjadi di jety tersebut merupakan pencemaran lingkungan yang menyebabkan penurunan pendapatan nelayan.
Sementara itu Project Manager PT GMS, Muhammad Haris mengungkapkan pihak perusaahannya juga telah memberikan dampak positif berupa jaminan CSR kepada masyarakat sekitar PT GMS yang disepakati pihak perusahaan bersama empat kepala desa melalui penandatanganan MoU.
“Sejak 2018 kami sudah ada MOU yang disepakati bersama masyarakat berupa CSR dan bantuan yang diminta oleh masyarkat. Itu dibuat antara masyarakat lingkar tambang dan PT GMS, yakni empat desa dan sampai sekarang masih berlaku,” beber Haris, pada Senin (27/9/2021) lalu.
Reporter: Erik Lerihardika
Editor: J. Saki