Mengenal Tari Lumense Asal Bombana yang Ditampilkan pada HUT RI di Istana Merdeka
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Dari banyaknya tarian tradisional di Indonesia, Tari Lumense terpilih menjadi salah satu yang akan ditampilkan pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Rabu (17/8/2022).
Dari informasi yang dihimpun, para penari yang berjumlah 100 orang telah melakukan geladi bersih di Istana Merdeka, Bogor, Jawa Barat.
Berikut ulasan lengkap Tari Lumense yang dilansir dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra.
Tari Lumense atau Tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari Tokotu’a, Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kata Lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni ‘Lume’ yang berarti terbang dan ‘Mense’ yang berarti tinggi. Jadi secara menyeluruh, nama tarian ini berarti terbang tinggi. Lumense artinya terbang mengamuk. Penamaan tari ini berasal dari Kabaena. Mereka menamakan Lumense karena gerakan penarinya laksana seorang yang sedang mengamuk dengan pedang di tangannya.
Jika ditelisik dari segi bahasa, Tari Lumense terbentuk dari dua akar kata, yaitu Lumee dengan Eense. Lumee bermakna mengais sedangkan Eense bermakna meloncat. Karena itu, ada yang menafsirkan Tari Lumense adalah tari dalam bentuk mengais sambil melompat-lompat.
Di masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual Pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano atau penguasa/pemilik negeri, dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudkan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana.
Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton.
Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada pendapat yang mengatakan Tari Lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini.
Corak produksi masyarakat Kabaena adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.
Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah.
Oleh karena itu, klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah.
Kekinian Tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh. Akan tetapi, Tari Lumense masih dianggap memiliki nilai spiritual. Masyarakat setempat menganggap Tari Lumense adalah tari penyembuhan.
Tari lumense telah berkembang sejak 200 tahun yang lalu. Tari ini pernah lenyap sekitar 1946 sampai dengan 1960, kemudian timbul kembali pada 1962.
Pada 1973 Tari Lumense mulai berkembang di kalangan masyarakat. Sampai sekarang, tarian tersebut tetap dipertahankan sebagai tarian tradisional di daerah Buton.
Gerakan Tari Lumense
Penari-penarinya terdiri dari 5 orang pria dan 5 orang wanita yang usianya sekitar 20 tahun atau lebih tua. Tari ini diiringi dengan instrumen musik gendang, gong besar (Mbololo) dan gong kecil (Ndengu-Ndengu).
Ketiga instrumen musik ini dimainkan serentak oleh tiga orang pemain musik. Biasanya Tari Lumense ini dilakukan di arena atau panggung terbuka, sehingga perlengkapan pertunjukkan tari tersebut hanya terdiri dari parang dan batang pisang saja.
Pakaian penarinya terdiri dari pakaian adat. Penari pria memakai baju berwarna hitam, kain sarung dan topi bambu khas daerah Moronene. Sedangkan penari wanita memakai baju panjang berjumbai seperti ekor burung, kain sarung, kepala diikat dengan hiasan berumbai dan ikat pinggang.
Musik pengiring tari ini berasal dari alat musik gendang dan gong besar yang disebut tawa-tawa dan gong kecil (ndengu-ndengu).
Pengiring musik berjumlah tiga orang penabuh alat musik tersebut. Sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai properti pendukung.
Dahulu tari ini dipertunjukkan pada waktu siang, akan tetapi sekarang ini, biasa juga dipertunjukkan pada waktu malam. Lama pertunjukkan diperkirakan memakan waktu lebih kurang 10 sampai 15 menit. (ads)
Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki