Oknum Guru SD Negeri 84 Kendari Diduga Lakukan Pungli
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Oknum guru di Sekolah Dasar (SD) Negeri 84 Kendari atau SD Kuncup Pertiwi, diduga telah melakukan pungutan liar (Pungli) terhadap siswa-siswinya.
Hal itu diungkapkan oleh Wardin (Nama samaran) orang tua siswa di SD Negeri Kuncup Pertiwi saat diwawancara wartawan Detiksultra.com, via seluler, Selasa (9/3/2021).
Dia menjelaskan, awalnya wali kelas anaknya mengirimkan sebuah pesan di grup Whatsapp para orang tua murid khususnya Kelas VIA dengan banyak siswa 35 orang.
Dalam pesan tersebut, oknum guru itu menyampaikan agar orang tua murid membayar uang sumbangan atau dana keterampilan taplak meja dengan patokan Rp100 ribu.
Dari hasil pembayaran dana keterampilan taplak meja, akan menjadi rujukan nilai ulangan praktek siswa-siswi Kelas VIA, untuk mata pelajaran Sosial Budaya dan Keterampilan (SBDP).
Sehingga ia menilai, sumbangan yang diminta oleh oknum guru ini terkesan seperti ada pemaksaan dan tentunya sudah termaksud pungli.
Karena setahu dia, bentuk sumbangan apapun itu, tidak ada namanya pematokan dari sisi nilai rupiah. Yang ada, keikhlasan dari orang tua murid.
Parahnya lagi, permintaan sumbangan dengan pematokan pembayaran ini, tidak didiskusikan terlebih dahulu antara orang tua siswa dan wali kelas, namun tiba-tiba masuk penyampaian dari wali kelas.
“Ini bukan persoalan nilainya, berapapun itu jika peruntukan masalah pendidikan biar mengutang saya rela. Hanya kan tidak ada pembicaraan dan bentuknya sumbangan tapi ada kesan pemaksaan karena bersangkutan dengan nilai anak-anak,” ungkapnya.
“Harusnya kita diskusikan berapa estimasinya (Harga satuan), dan tidak perlu wali kelas yang urus ini, artinya tinggal kita hubungi tukang jahitnya untuk membuat taplak meja,” sambungnya.
Adanya penekanan pembayaran ini dengan modus nilai, tentunya lanjut dia, ada ketakutan tersendiri bagi orang tua murid jika tidak menuruti apa yang disampaikan oleh wali kelas.
Makanya sebagian besar orang tua murid kebanyakan sudah membayar. Meskipun sebenarnya, para orang tua menolak untuk membayar. Tapi lagi-lagi ada ketakutan, jika tidak dibayar, nilai anaknya bisa berpengaruh.
Sehingga dia bilang, harusnya pihak guru menugaskan muridnya untuk membuat taplak meja karena sifatnya praktek, dengan cara berkelompok, mengingat saat masih dalam suasana pandemi Covid-19.
Dengan cara praktek begini, lanjutnya, para siswa-siswi akan belajar banyak hal, mulai estimasi biaya, pengembangan kreativitas dan lain-lain.
“Kalau caranya membayar begini, nilai edukasinya apa yang didapat oleh murid, kan tidak ada. Jadi disini bukan persoalan nilai tapi bagaimana kualitas pendidikan kita harus benar-benar komperhensif dari semua sisi,” terangnya.
Ia kembali menyampaikan, ketika dirinya menghubungi langsung guru bersangkutan mempertanyakan perihal pembayaran ini wajib atau tidak.
Dalam balasan guru itu disebutkan bahwa karena ini adalah kegiatan keterampilan yang seharusnya siswa-siswi memproses sendiri pembuatan taplak meja.
Sehingga pihaknya (Guru), memasukan sebagai praktek mata pelajaran SBDP. Nanti siswa-siswi tinggal ditanya bagaimana bahannya, langkah kerjanya, dan kesimpulan dalam bentuk laporan praktek membuat taplak.
“Dalam sambungan wa nya itu, bersangkutan bilang, jadi ini mungkin termaksud wajib karena berkaitan dengan nilai praktek pelajaran SBDP,” sebutnya.
“Dan sampaikan, bahwa tidak ada kesepakatan di paguyuban (Perkumpulan orang tua siswa kelas IVA) terkait itu, tiba-tiba ada WA wali kelas di grup. Saya tidak tau itu inisiatif wali kelas sendiri atau ada oknum orang tua murid yang memanfaatkan situasi,” jelas dia.
Ditempat berbeda, Wali Kelas VIA SD Negeri Kuncup Pertiwi, Muhamad Rasyid mengatakan pembuatan taplak meja ini bagian dari tugas akhir, dan nantinya akan digunakan pada saat ujian akhir sekolah (UAS), supaya meja seragam menggunakan taplak.
Hanya dia menegaskan, terkait seruan pembayaran senilai Rp100 ribu itu, sama sekali tidak ada pemaksaan terhadap siswa-siswi untuk membayar.
Kemudian, informasi yang ia sebar di grup Whatsapp panguyuban orang tua siswa-siswi, dirinya hanya melanjutkan hasil musyawarah antar orang tua murid menyangkut kesepakatan pembayaran uang taplak meja.
“Saya sampaikan, jika memberatkan, silahkan dimusyawarahkan lagi, dan bukan saya yang menginisiasi itu, melainkan dari pengayuban sendiri. Makanya, pengayuban tekankan, jika tidak mampu jangan dipaksakan. Jadi jelas disini tidak ada pemaksaan,” katanya.
Perihal siswa-siswi yang tidak membayar, tambah dia, tidak menjadi soal. Karena nilai dapat ambil dari aspek lainnya.
“Ndak jadi masalah, kan nilanya bisa diambil dari ulangan harian dan lain-lain untuk menutupi nilai praktek pembuatan taplak meja,” imbuhnya
Reporter: Sunarto
Editor: Via