Bahaya Moralitas Budaya Kekerasan
Penulis : Kia
Email : [email protected]
Aktivitas : Pegiat Media – Pecinta Literasi
“Segala yang jahat itu berasal dari kelemahan”_Jean Jacques Rousseau
Sudah menjadi dasar manusia merasa takut kehilangan nyawa. Rasa takut inilah yang menjadi dasar negara dalam menerapkan aturan. Artinya ancaman & sanksi memaksa manusia menjadi takut dan memilih bersifaat taat aturan.
Ini adalah dasar pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679), seorang filsuf dari kalangan empiris paling radikal hingga kini. Hobbes percaya bahwa insting manusia adalah mempertahankan dirinya sendiri. Upaya ini menghasilkan konflik bukan hanya pada dirinya sendiri, namun juga kepada orang lain. Maka terjadilah istilah “perang semua melawan semua” (bellum omniun contra omnes).
Untuk bisa damai, maka didirikanlah sebuah negara (civitas) berdasarkan perjanjian, bukan kesepakatan (Contract social Theory). Artinya individu-individu menyerahkan haknya kepada negara, namun negara tidak punya kewajiban kepada mereka. Oleh Hobbes, negara sudah menjadi sosok leviathan (monster laut dalam mitologi timur tengah).
[artikel number=3 tag=”mahasiswa,demo”]
Yang menjadi masalah adalah, ketika negara tetap menuntut warga untuk tetap taat dan patuh, maka warga kembali mengalami rasa takut yang alamiah (state of nature). Dari rasa takut akan keselamatan nyawa inilah, maka timbul kembali perlawanan terhadap aturan, sebab negara sudah menjadi ancaman baginya.
Gagasan Hobbes mungkin berdasarkan hasil pengamatan empirisme kala itu. Namun teori Hobbes mendekati realitas belakang ini. Dalam sinopsis aksi kekerasan yang menimpa mahasiswa yang menolak rencangan Revisi UU KPK, RUU KHUP, RUU Pertanahan, RUU Ketenaga-kerjaan, RUU Minerba & RUU Pemasyarakatan.
Berbagai aksi yang yeng terjadi dibeberapa daerah secara nasional, ditangani secara represif yang berakhir ricuh. Terakhir 2 mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari, menjadi korban dari tindakan represif kepolisian.
Mengapa harus ada kekerasan ini? Pertanyaan ini muncul dari sebuah rasa keheranan. Keheranan adalah sebuah perasaan yang timbul saat kita menghadapi situasi-kondisi yang tidak lazim, tidak normal, tidak semestinya.
Ini artinya pada tataran masyarakat yang terbiasa dengan kekerasan, maka keheranan ini, menjadi tak relevan dipertanyakan. Akal-jiwapun tertidur dan kekerasaan dianggap normal.
Saat sebuah tatanan masyarakat tidak pernah lagi mempersoalkan mengapa kekerasan itu terjadi, artinya tatanan itu sudah kehilangan peradaban. Dalam kondisi kekerasan yang dianggap normal, maka tugas kepolisian yang seharusnya menjamin kebebasan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya, berubah menjadi “jaminan” tindak kekerasan.
Keheranan kita bertambah saat membaca bagaimana sikap para pelaku terhadap korban kekerasan? Apakah para pelaku kekerasan memandang korbannya sebagai “sesama” manusia? Jika dianggap sebagai sesama manusia, seharusnya tidak ada kekerasan ini, karena – (dirinya tercermin didalam hal yang sama itu) – “yang sama mengenal yang sama”, tulis Empedocles dari Sicilia, (filsafat 490-430 SM).
Jika terjadi kekerasan berarti korban dianggap tidak “sesama”, yang sosoknya digambarkan sangat asing dan bukan sebagai manusia. Artinya terjadi proses “dehumanisasi”.
Mengapa itu terjadi? Karena “delusi”.
Delusi mengantarkan “seuatu” yang kurang dalam kehidupan kita. Kita tidak bisa hidup, tanpa pengakuan dari masyarakat. Tidak bisa bahagia jika tak memiliki uang. Delusi inilah yang mengenalkan kita pada “racun” pandangan sebagai mahluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya.
Pola menarik dari sejarah kolektif tentang kekerasan adalah semua pelaku hidup dalam bayang-bayang moralitas. Dalam hal ini, Aparat kepolisian yang menembak mahasiswa dan demonstrasi anarkis yang mengatas-namakan kepentingan umum.
Penulis buku, Reza A.A Wattimena (Tentang Manusia), bahaya laten dari “moralitas” yang hanya memberikan pilihan memaksa yakni “baik” atau “buruk” (pertimbangan moralitas).
Namun kita sering lupa bahwa moralitas hanyalah pertimbangan dalam pikiran, bukan sebuah realitas. Dalam kenyatannya, hidup tidak se-sederhana itu. Kita mungkin memegang erat prinsip kejujuran, tapi ini tidak bisa berlaku sepanjang waktu. Ada waktunya kita perlu berbohong dengan sebab-sebab yang masuk akal.
Semua orang berteriak tentang moral dan keadilan. Namun korupsi dan kebohogan masih terjadi. Inilah bahaya laten moralitas yang justru menghasilkan kekejaman dan kemunafikan.
Aspek kejernihan berpikir harus diutamakan dibanding alasan moralitas. Sudah bukan lagi pertanyaan “apakah ini baik atau buruk? Namun “apakah ini lahir dari kejernihan berpikir atau tidak? Dan ini alamiah ada dalam diri masing-masing manusia.
Moralitas hanya melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap agresif lalu diarahkan ke orang lain. Selama masih melekat pada alasan moralitas, lingkaran setan antara ketegangan dan penderitaan akan terus terjadi. Pikirkanlah secara jernih.
Salam lestari…