Hukum

Eks Direktur Perusahaan Kelapa Sawit Minta Haknya Dipenuhi

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Tak pernah terlintas dalam benak Risma Purba, dirinya akan diperlakukan tak adil, setelah mantan Direktur PT. Damai Jaya Lestari (DJL) ini mengabdikan diri dan menghabiskan waktunya selama 25 tahun delapan bulan, hanya untuk membesarkan perusahaan milik almarhum DL. Sitorus tersebut.

Kinerja ibu dua anak ini selama 25 tahun dibalas dengan kebijakan pemecatan sepihak tanpa pesangon, yang dikeluarkan oleh Komisaris PT. DJL, Sihar Sitorus.

Parahnya, pemecatan tersebut dilakukan secara lisan dengan alasan bahwa Sihar Sitorus dan Risma Purba sudah tak sepaham lagi. Permintaan agar Risma keluar dari PT. DJL dilontarkan Sihar Sitorus pada tanggal 24 Oktober 2017, saat bertemu di Jakarta.

“Saya tidak mengerti apa yang dimaksud Pak Sihar Sitorus, dengan kata-katanya bahwa kita tidak sepaham lagi. Begini saja bu, saya sudah tidak sepaham lagi dengan Ibu Risma, keluar saja, nanti hak-hak ibu akan saya penuhi,” ujar Risma Purba seraya menirukan ucapan Sihar Sitorus, Kamis (13/6/2019 ).

Wanita yang bergabung diperusahaan kelapa sawit sejak 10 Februari 1992 ini mengaku kaget dan tak membayangkan dirinya akan diperlakukan seperti itu. Padahal, Ia telah menunjukan kinerja dan loyalitasnya terhadap perusahaan.

Hal itu terjadi setelah perubahan “Reporting Line” atau pergantian pimpinan dari almarhum DL Sitorus kepada Sihar Sitorus, yang tak lain merupakan anak kandungnya.

Meski demikian, kata Risma, Ia tetap mencoba bersabar dan berniat menyelesaikan persoalan tersebut secara baik-baik. Permintaan agar keluar dari perusahaan ditindaklanjutinya dengan melayangkan surat permohonan pensiun, yang dikirim pada tanggal 26 Oktober 2017 lalu. Akan tetapi, lagi-lagi langkah yang ditempuh Risma tak diindahkan oleh Sihar Sitorus.

[artikel number=3 tag=”perkebunan,sawit”]

Alih-alih menjawab surat tersebut, Sihar Sitorus justru mengalihkan permohonan pensiun Risma Purba menjadi permohonan pengunduran diri. Padahal, tak ada sedikit pun wanita kelahiran 10 Mei 1965 ini punya niatan untuk mengundurkan diri.

“25 tahun 8 bulan saya mengabdi di perusahan ini, dan saya sudah anggap mereka seperti keluarga saya sendiri. Saya pun tidak pernah minta kenaikan gaji kepada almarhum DL Sitorus. Saya anggap dia (DL Sitorus) sudah seperti orang tua saya. Saya juga tidak mengatakan bahwa telah melakukan hal terbaik dari orang lain. Tapi apapun peraturan yang berlaku di perusahan saya pikir saya tidak pernah melanggar itu,” jelas Risma Purba.

Bukannya memberikan apa yang menjadi hak Risma sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, PT. DJL justru terkesan melakukan serangkaian upaya yang sistematis dan terencana, untuk menghindar dari kewajiban membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak serta hak-hal lainnya.

Apalagi, kini Ia memiliki tanggung jawab untuk masa depan kedua anaknya dan orang tua yang tua renta, dan dalam kondisi sakit-sakitan, membutuhkan asupan obat secara intens.

Menempuh Proses PHI

Risma Purba juga telah melaporkan persoalan tersebut ke pihak Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Sultra, sehingga terjadi proses mediasi sesuai dengan tahapannya.

Alhasil, setelah melalui tahapan mediasi, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Sultra mengeluarkan perintah pembayaran terhadap PT. DJL, atas hak-hak Risma Purba. Akan tetapi, hal itu juga tak direalisasikan, sehingga wanita yang memulai karirnya sebagai mandor lapangan ini terpaksa menempuh proses Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Kuasa Hukum penggugat, Togi Gultom SH menegaskan, apa yang dituntut kliennya bukanlah bonus melainkan haknya sebagai karyawan, sebagaimana diatur dalam UU nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Olehnya itu, Ia meminta agar majelis hakim memutuskan seadil-adilnya.

Menurut dia, perkara tersebut bukan sekedar proses hukum untuk mencari keadilan, malainkan persoalan kemanusian. Bagaimana tidak, seorang wanita yang telah menunjukan loyalitasnya dan mengorbankan kebersamaan dengan keluarganya, demi pengembangan perusahaan, kini diterlantarkan begitu saja.

“Apa yang dituntut klien saya merupakan hak dia, jadi perusahaan harus membayarkannya,” tegas Togi Gultom.

Reporter: Sunarto
Editor: Sumarlin

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button