Opini

Gizi Remaja Pintu Masuk Tuntaskan Stunting

Dengarkan

Sampai saat ini, stunting masih menjadi isu global dan nasional. Laporan WHO tahun 2020 menyebutkan bahwa sekitar 22% atau sekitar 149,2 juta balita didunia mengalami stunting. Sementara itu, menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, 24,4% balita Indonesia mengalami stunting. Angka ini masih terbilang cukup tinggi, mengingat WHO menargetkan prevalensi stunting balita harus dibawah 20%, juga belum mencapai target nasional yang tercantum dalam RPJMN 2021 bahwa prevalensi balita stunting harus dibawah 21,1%. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan stunting. Intervensi spesifik dan sensitif dengan melibatkan multisektor dan multiphak, seperti: pemerintah, swasta, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan media terus dilakukan pemerintah. Hal ini ditandai dengan terbitnya Perpres Nomor 72 tahun 2021 dan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 12 Tahun 2021 yang inti dari payung hukum ini adalah upaya percepatan penurunan stunting pada balita. Upaya tersebut menyasar kelompok sasaran seperti: balita, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui dan tak terkecuali remaja.

Bila upaya kejar tumbuh saat balita tidak tuntas, dikwatirkan akan berdampak pada pertumbuhan linear mereka saat remaja. Secara global prevalensi stunting pada remaja masih cukup tinggi. Tahun 2010 diperkirakan 167 juta remaja mengalami stunting dan ditargetkan menjadi 142 juta di tahun 2020. Sementara itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 memperlihatkan 25,7% remaja usia 13-15 tahun dan 26,9% remaja usia 16-18 tahun atau 52,6% remaja 13-18 tahun mengalami stunting, artinya 5 dari 10 orang remaja di Indonesia mengalami stunting.

Remaja adalah waktu peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dimana periode ini terjadi berbagai macam perubahan yang cukup bermakna baik secara fisik, biologis, mental dan emosional serta psikososial. Masa remaja juga terjadi proses pengenalan jati diri, kegagalan dalam proses pengenalan diri ini bisa menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah masalah kesehatan. Hanya saja, umumnya remaja tidak menyadari bila ada masalah kesehatan pada diri mereka. Coba kita perhatikan, hanya sedikit remaja yang datang berobat atau periksa kesehatan difasilitas kesehatan dibandingkan kelompok usia lain (bayi, balita, atau lansia). Masalah kesehatan yang menimpa remaja memang tidak nampak seperti sebuah penyakit pada umumnya yang membutuhkan perawatan. Namun masalah ini mempunyai dampak lebih besar dimasa mendatang, bukan hanya pada diri mereka, akan tetapi juga pada berdampak pada bangsa dan negara. Masalah kesehatan tersebut adalah masalah gizi yang secara umum menimpa remaja ada 4, yaitu: stunting, kurang energi kronik (KEK), anemia gizi besi dan obesitas.

Penanganan masalah gizi remaja merupakan upaya dini pencegahan stunting pada balita. Dalam pelaksanaannya akan sangat membutuhkan keterlibatan lintas program, lintas sektor dan masyarakat. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk remaja dalam rangka menjadi pintu masuk penurunan stunting dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Cegah Pernikahan Usia Remaja. Undang-Undang No. 16 tahun 2019 sudah menetapkan bahwa batas minimal usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Sayangnya, batasan usia perkawinan tersebut masih menimbulkan dinamika. Dengan berbagai alasan, pernikahan usia remaja masih kerap terjadi di berbagai daerah. Keterlibatan para pihak dibutuhkan untuk masalah ini. Kementerian Agama melalui KUA di Kecamatan perlu melakukan sosialisasi pada masyarakat terkait batas usia pernikahan yang apabila dilanggar, maka pasangan yang menikah tidak akan mendapat buku nikah. Pemerintah Desa dapat berperan dengan tidak memberikan layanan administrasi pada pernikahan tidak cukup umur. Masyarakat juga dihimbau untuk merencanakan pernikahan putra-putrinya. Sementara itu, lembaga kesehatan pemerintah/swasta dan perguruan tinggi dapat terlibat pada sosialisasi terkait hubungan pernikahan usia remaja dengan kondisi Kesehatan ibu dan anak yang dikandungnya. Ini penting, karena banyak masyarakat belum mengetahui bahwa organ reproduksi wanita yakni rahim belum terbentuk sempuna diusia 19 tahun. Risikonya adalah akan lahir anak dengan kondisi BBLR dan stunted. Jadi disarankan, waktu ideal seorang perempuan untuk menikah 20 atau 21 tahun. Selain masalah biologis, remaja juga dianggap belum siap secara psikologis dan ekonomi dalam menanggung beban rumah tangga yang begitu berat. Faktor stress dan ketidakmampuan daya beli dapat menyebabkan perhatian dan perawatan terhadap anak menjadi kurang maksimal, sehingga anak tidak tumbuh dan berkembanga secara optimal.

Kedua, Kejar Tinggi Badan dan Status Gizi Remaja. Selain masa bayi dan balita, masa remaja juga merupakan masa dimana terjadi apa yang biasa disebut dengan growth spurt atau pertumbuhan cepat. Ini kesempatan emas bagi remaja dan keluarga untuk memaksimal asupan gizi. Remaja dibiasakan untuk sarapan pagi, frekuensi makan teratur,dan tentunya dengan gizi seimbang disertai dengan olahraga yang cukup. Pada fase ini, terjadi pertumbuhan fisik disertai perkembangan mental-kognitif, psikis, juga terjadi proses tumbuh kembang reproduksi yang mengatur fungsi seksualitas. Pada fase remaja seringkali dianggap sebagai periode hidup yang paling sehat. Namun, pada kenyataanya masih banyak juga remaja yang mengalami tubuh yang pendek (stunting). Bisa dibayangkan bila gizi usia remaja ini tidak mendapat perhatian. Tentunya mereka tidak akan tumbuh secara optimal. Akhirnya mereka akan menikah dengan postur tubuh yang tidak ideal dan ini berisiko untuk melahirkan anak yang pendek.

Ketiga, Tuntaskan Anemia Remaja. Anemia lebih banyak diderita oleh remaja putri. Remaja putri yang anemia tahun 2013 sekitar 23,9% dan meningkat menjadi 27,25 ditahun 2018. Anemia pada remaja putri merupakan masalah yang harus segera diatasi karena anemia pada remaja putri berisiko menjadi anemia pada ibu hamil. Remaja putri. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerbiakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 88 Tahun 2014 tentang Standar Tambah Darah bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Nomor HK.03.03/V/0595/2016 tentang pemberian tablet tambah darah pada remaja putri dan wanita usia subur. Salah satu progranya adalah pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada remaja putri di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Remaja putri wajib mengkonsumsi 1 tablet perminggu atau 52 tablet setahun. Hanya saja, program ini masih terdapat kelemahan, yakni: remaja putri yang tidak sekolah belum mendapat TTD, evaluasi hanya dilakukan pada cakupan pemberian TTD dan belum sampai melihat status anemianya. Tentunya kedepan diharapkan, pihak terkait dapat mengambil kebijakan terhadap masalah ini. Bila kondisi ini tidak ditangani dengan baik, maka akan berdampak pada masa yang akan datang, termasuk dampak anak yang mereka lahirkan. Tentunya suatu saat mereka akan hamil dan mempunyai anak. Remaja putri yang menderita anemia ketika menjadi ibu hamil berisiko melahirkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan stunting.

Keempat. Terapkan Gaya Hidup Sehat Remaja. Menurut data Global School Health Survey tahun 2015, pola makan remaja tergambar antara lain: Tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering mengkonsumsi makanan berpenyedap (75,7%). Di antara remaja itu juga kurang melakukan aktifitas fisik (42,5%). Apabila cara konsumsi ini berlangsung terus menerus dan menjadi kebiasaan pola makan tetap para remaja, maka akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit tidak menular. Pola makan seperti yang digambarkan tersebut sangatlah tidk sehat. Tentunya remaja diharapak membiasakan sarapan pagi, mengkonsumsi makanan tinggi serat yag bersumber dari buah dan sayuran, mengurangi makanan jajanan/minuman yang tinggi kalori dan melakukan aktivitas fisik seperti berolahraga. Remaja juga diharapkan untuk mengurangi waktu sedentary seperti: menonton TV, main game, dan sebagianya. Dan terakhir remaja harus memberikan porsi waktu yang cukup untuk istirahat.

Kelima. Berikan Edukasi Kesehatan Reproduksi Pada Remaja. Edukasi Kesehatan reproduksi remaja sangat penting. Sebab, masa remaja adalah waktu terbaik untuk membangun kebiasaan baik menjaga kebersihan, yang bisa menjadi aset dalam jangka Panjang. Kurangnya edukasi terhadap hal yang berkaitan dengan reproduksi nyatanya bisa memicu terjadinya hal-hal yang tak diinginkan, seperti: penyakit seksual menular, kehamilan di usia muda, hingga aborsi yang berakibat pada hilangnya nyawa remaja. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, diharapkan mampu membuat remaja lebih bertanggung jawab. Terutama mengenai proses reproduksi, dan dapat berpikir ulang sebelum melakukan hal yang dapat merugikan. Tentunya edukasi ini akan terwujud bila ada kerjasama antara lembaga kesehatan pemerintah/swasta dan sekolah. Dengan demikian, remaja diharapkan memiliki bekal ilmu dalam mengarungi kehidupan dimasa yang akan datang.

 

Oleh : LA TAHA, MAHASISWA PASCASARJANA ILMU GIZI UNHAS

Baca Juga

2 Comments

  1. Pendapat ilmiah yang mencerdaskan..semoga program2 penuntasan stunting yang menyasar remaja putri bisa ditingkatkan porsinya kedepan, mengingat selama ini kebanyakan fokus pencegahan stunting selain sama balitanya sendiri juga pada ibu balita dan ibu hamil..padahal masa remaja memang jadi periode yang tdk bisa diabaikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button