Opini

Politik Identitas Catatan Akhir Pekan Zainal Arifin Ryha

Dengarkan

“Politik identitas itu HAM, alamiah dan ilmiah,” tegas kawan sehimpunan saya, seorang doktor peneliti, konon juga penulis di berbagai jurnal ilmiah. Saya tersenyum membacanya karena mahfum pandangannya itu hendak diorientasikan ke mana dan untuk tujuan apa.

Maka ketika saya sodorkan pertanyaan: lalu kenapa harus menolak gerakan kaum LGBT, ia kaget. “Apa hubungannya?,” tanyanya.

Agaknya si kawan tak paham kalau politik identitas bermula dari gerakan bermotif identitas seksual oleh kaum feminisme di Barat. Mereka beranggapan konstruk sosial yang terbangun telah menempatkan wanita sebagai second citizen.

Gerakan sosial ini kemudian melebar, merambah identitas primordial lainnya: ras, suku, golongan, kelas sosial, agama, paham ideologi, kedaerahan dan sebagainya. Khusus kaum LGBT, mereka berjuang untuk memperoleh pengakuan akan “identitas seksualnya” dengan menolak subyektivikasi akibat internalisasi norma-norma yang diproduksi oleh relasi kuasa dengan ilmu pengetahuan, yang mereduksi individualitas menjadi suatu ukuran umum tentang kebenaran dan universalitas terkait identitas seksual tersebut.

Sebagai akibatnya, si kawan ini baur, tidak mampu memilah batas antara political identity dengan political of identity. Kerancuan seperti ini sering kali terjadi, berpangkal dari perbedaan memahami konsep dan menempatkannya dalam konteks sosial yang melatarinya.

Sebagai konsep, politik identitas tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Sebab kontekslah yang akan memberi pemaknaan atas konsep. Mengabaikan konteks, sama saja dengan melahirkan pemahaman baru yang sesat terhadap konsep politik identitas.

Berpijak pada konteks sosial yang melatarinya, Fukuyama dalam bukunya “Identity” (2018) menyebut politik identitas adalah bentuk perjuangan asasi untuk memperoleh keadilan dan pengakuan akan identitas oleh kelompok-kelompok yang termarjinalkan dalam relasi sosial. Artinya, secara konseptual politik identitas bermakna positif dan kompatibel dengan demokrasi.

Masalahnya karena di ranah praksis, terjadi pergeseran makna saat ini dari political identity ke arah political of identity. Politik identitas yang sebelumnya disuarakan oleh kelompok-kelompok kecil yang terpinggirkan, kini justru ditunggangi sebagai kuda troya oleh mayoritas.

Agaknya dominasi umat Islam dalam politik kekuasaan yang begitu hegemonik saat ini, ternyata belum mampu meredakan suara-suara keras seolah-olah umat Islam sedang ditindas. Tidak heran narasi playing victim yang jadi ciri politik identitas, terus saja difabrikasi dan digelorakan memenuhi jagad lini maya.

Agama yang harusnya berat dan sarat akan makna, lantas ditampilkan kulit-kulit luarnya secara simbolik sebagai instrumen politik untuk meraih kekuasaan. Akibatnya, Pilpres dan Pilkada yang harusnya berbasis pada asas kewargaan, lantas bergeser ke arah sentimen primordial sempit dan intoleran. Kompetensi yang jadi syarat kepemimpinan lalu bergeser ke arah: yang penting seiman.

Parahnya lagi karena praktek politik identitas telah merambah pada upaya menghegemoni dan mendekonstruksi identitas nasional, identitas bersama yang dibangun atas dasar dan untuk memayungi kemajemukan bangsa sehingga seharusnya diletakkan di atas semua identitas primordial. Politik identitas yang sebelumnya jadi basis bagi pelembagaan demokrasi, lantas bergeser menjadi gerakan yang antitekal dengan prinsip-prinsip dan semangat demokrasi itu sendiri.

Demokrasi memang sedikit banyaknya menghendaki penguraian atau pelonggaran ikatan-ikatan primordial itu sampai batas tertentu, terutama pada ranah yang sifatnya komunal di satu sisi, dan di sisi lain menegaskannya dalam ranah yang bersifat privat.

Malangnya, karena dalam konteks politik Indonesia saat ini, persaingan untuk mendapatkan peluang dan kesempatan dalam pengaruh politik, ikatan-ikatan primordial ini sering kali dipanggil untuk kembali hadir.

Akibatnya, muncullah dalam arena pesatuan kebangsaan itu suatu persaingan kesetiaan primordial, yang mungkin dalam batas tertentu harus dipandang sesuatu yang wajar dan niscaya.

Apa yang harus ditangkal adalah peruncingan persaingan itu menjadi ketegangan dan benturan yang menegangkan, yang akan mencabik-cabik tenun kebangsaan yang telah dirajut sebagai asas untuk menopang heterogenitas bangsa kita yang majemuk []

Sabtu Malam, 15 Juli ’23

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button