Hukum

Restorative Justice, Kejati Sultra Hentikan 14 Kasus Tindak Pidana Per Juli 2022

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) telah menghentikan sejumlah tindak pidana yang ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) di sejumlah daerah di Sultra.

Kepala Kejati Sultra, Raimel Jesaja mengatakan, penghentian kasus tindak pidana itu berpedoman pada terobosan Kejaksaan Agung yang sudah berjalan dua tahun ini, melalui pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.

“Dalam kurun periode Januari-Juli 2022, kami telah menghentikan 14 kasus tindak pidana,” ungkapnya saat menggelar konferensi pers dalam rangka merayakan Hari Bahkti Adhyaksa ke-62 di Kantor Kejati Sultra, Jumat (22/7/2022).

Ia mengatakan, restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban serta pihak lain yang terkait. Guna bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan pembalasan.

Pada prinsipnya restorative justice proses atau tata cara peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

Tentunya langkah ini kata dia, dalam rangka untuk menciptakan kesepakatan penyelesaian pidana yang lebih adil, humanis dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Kemudian dijelaskannya lagi restorative justice meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Dimana pemulihan ini didasarkan atas kesepakatan bersama antara pihak korban dan pelaku.

Pihak korban dalam restorative justice dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebus kesalahannya melalui mekanisme pembayaran sejumlah ganti rugi, perdamaian, kerja sosial maupun kesepakatan lainnya.

“Perlu diketahui dalam menjalankan restorative justice ini, itu tidak asalan dan sembarangan. Kami benar-benar selektif dan obyektif menilai mana kasus yang kemudian dapat di restorative justice,” katanya.

Karena penyelesaian hukum melalui restorative justice ini harus sesuai mekanisme yang ada, maka kejaksaan menyederhanakannya dengan ruang lingkup yang terbatas. Artinya tidak semua kasus dapat menerima restorative justice.

Disebutkannya, pedoman restorative justice ini digunakan dalam penyelesaian perkara tindak pidana ringan, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak dan perkara narkotika.

Ia mencontohkan, ketika ada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat 1 dan Ayat 4 UU 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Dimana suami menganiaya istri dan ketika korban sudah memaafkan maka dengan mengedepankan restorative justice, Kejati tak perlu lagi melanjutkan kasus tersebut ke tahap pelimpahan di pengadilan.

“Karena nanti dampaknya juga kepada keluarga, istrinya, dan anaknya yang terlantar,” jelas dia.

Ia menambahkan, dengan hadirnya prinsip keadilan restorative justice tidak lain agar penegakan hukum di Indonesia dapat menghadirkan suasana berbeda bagi mereka yang memang pantas mendapatkan keadilan. Tentunya dengan pertimbangan hukum dan regulasi yang ada.

“Tujuan hukum bukan hanya sekedar memberikan efek jera namun lebih pada memberikan kesadaran, keadilan, kemanfaatan dan kesejateraan. Sehingga berangkat dari ini, kehadiran restorative justice kita ingin merubah stigma dari hukum tumpul ke atas tajam ke bawah jadi hukum tajam ke atas tumpul ke bawah,” tukasnya. (bds)

 

Reporter: Sunarto
Editor: Wulan Subagiantoro

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button