Sultra Raya

HC Supriadi: Pemprov Sultra Gagal Paham Soal Eksekusi Eks PGSD

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Pengamat Hukum Sulawesi Tenggara (Sultra), DR. HC. Supriadi, MH Ph.d menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra gagal paham menganalisa terkait putusan penggusuran lahan Eks PGSD.

Walaupun Pemprov Sultra telah memiliki surat putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari Mahkamah Agung (MA), namun tidak serta merta pihak Pemprov Sultra melakukan eksekusi penggusuran terhadap lahan tersebut.

“Kewenangan untuk menjalankan isi keputusan itu adalah pengadilan, hal itu bersadarkan Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009, tentang kekuasaan hakim, termaksud dalam UU nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum,” katanya saat dihubungi Detiksultra.com, Selasa (7/1/2020).

Karena pengadilan diberikan hak mengeksekusi putusan, lanjutnya, maka pihak yang memenangkan perkara harus terlebih dulu mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN). Kemudian PN menetapkan biaya panjar eksekusi yang ditentukan dalam SKUM, yang berisi komponen biaya eksekusi.

Dijelaskan biaya eksekusi yang dimaksud yakni materai penetapan eksekusi, pemberitahuan Aanmaning atau teguran tertulis kepada termohon eksekusi.

Kemudian biaya pelaksanaan eksekusi terdiri dari biaya pelaksanaan eksekusi atau pengosongan, biaya sita eksekusi, biaya penyampaian salinan berita acara sita kepada pihak desa maupun kelurahan.

“Selanjutnya biaya pemberitahuan dan pencatatan eksekusi ke Badan pertanahan Naisonal (BPN) serta biaya sewa kendaraan,” jelasnya.

Sementara untuk proses eksekusi putusan, ungkap Dosen Hukum di Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) ini, berdasarkan Pasal 196 Herziene Inlandsche Reglement (HIR) PN terlebih dahulu melakukan Aanmaning.

Bahkan lanjut Supriadi , putusan yang memenuhi syarat untuk dieksekusi tidak dapat dilaksanakan tanpa didahului Aanmaning. Dimana Aanmaning dilakukan dalam sidang insidental yang dipimpin ketua PN yang dalam praktik, biasa berlangsung satu kali.

“Jadi PN akan memerintahkan jurusita untuk memanggil termohon eksekusi, untuk diperingatkan agar memenuhi putusan secara sukarela dalam waktu delapan hari,” kata dia.

“Hanya saja memang tidak ada ketentuan batas waktu kapan penetapan eksekusi harus dikeluarkan sejak permohonan diajukan, namun sifatnya harus segera,” sambungnya.

Bahkan menurut Supriadi, dalam aturan pun ada lima poin yang dapat membatalkan eksekusi, meski telah berkekuatan hukum tetap. Pertama Putusan declaratoir yaitu peryataan hakim yang dituangkan dalam putusan yang dijatuhkan.

Kedua Putusan constitutief yaitu putusan yang memastikan suatu kondisi hukum baik yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum baru. ketiga Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan yang tercantum dalam amar putusan.

Keempat obyek dari eksekusi tidak jelas, tidak ada, telah musnah, telah menjadi milik negara atau obyeknya berada di luar negeri. Kelima Putusan yang dinyatakan non executable oleh kepala PN, berdasarkan berita acara yang dibuat jurusita yang diperintahkan untuk mengeksekusi putusan tersebut.

“Kalau amar putusan yang berkekuatan hukum tetap, ada di lima poin atau salah satunya yang memenuhi syarat, tidak bisa dilaksanakan eksekusi,” terangnya.

Untuk itu jika pihak Pemprov Sultra tetap memaksakan melakukan ekskusi, tanpa melalui jalur hukum maka Pemprov Sultra dapat dikenakan pidana.

“Nanti dilihat lagi unsur-unsur pidananya, apakah itu pengrusakan dan sebagainya itu bisa dikenakan pidana,” tutupnya.

Reporter: Sunarto
Editor: Dahlan

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button