Categories: Opini

Sengketa Lahan di Daerah Berkembang

Share
Dengarkan

Kabupaten Kolaka bagian selatan yang masuk wilayah geografis administrasi Kecamatan Tanggetada, Kelurahan Anaiwoi merupakan daerah yang berkembang. Hal tersebut ditandai dengan pindahnya kampus Universitas Sembilan Belas November. Salah satu kampus terbesar dan kampus negeri di Bumi Mekongga. Telah resmi pindah dan sebagian besar aktivitas perkuliahannya telah aktif di kampus tersbut.

Pindahnya kampus ke bagian selatan Kabupaten Kolaka telah memberikan dampak positif, dan tentu perkembangan daerah tersebut cukup pesat karena banyaknya mahasiswa yang datang dari berbagai daerah yang ada di Sulawesi Tenggara dan tinggal di sekitaran kampus.

Perkembangan setiap daerah pasti ada dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat setempat, khususnya sekitaran Kampus Universitas Sembilan Belas November. Baik dampak positif maupun dampak negatif.

Setiap daerah yang berkembang khususnya di Sulawesi Tenggara akan diperhadapkan dengan persolan tanah, tanah menjadi plus-minus buat masyarakat sekitar, salah satu plusnya adalah NJOP tanah naik, dan di sisi lain minusnya adalah maraknya sengketa tanah antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya. Padahal dulunya tanah tersebut telah diolah dan bersertifikat, dan tidak pernah terjadi saling klaim maupun penyerobotan lahan. Namun, dengan naiknya harga tanah maka sebagian masyarakat rasa tamaknya timbul, dan menyerobot serta menguasai lahan yang telah lama diolah oleh satu keluarga atau masyarakat/pemilik.

Maraknya kasus penyerobotan tanah yang terjadi di Kecamatan Tanggetada khususnya Kelurahan Anaiwoi, ada beberapa keluarga atau masyarakat sekitar yang merasa terzolimi akibat ulah oknum-oknum masyarakat penyerobot lahan dengan mengklaim lahan yang sudah bersertifikat hak milik (SHM) adalah miliknya. Padahal sebelumnya peristiwa penyerobotan lahan dan saling klaim tidak pernah pernah terjadi.

Sepanjang sepengamatan penulis telah terjadi penyerobotan lahan sebanyak 6 kasus yang terjadi di Daerah Kelurahan Anaiwoi, dengan beragam metode pengklaiman atau alibi oknum-oknum penyerobot lakukan mulai dengan menggunakan narasi belaka, ada yang mengatakan lokasi mereka serobot tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM), lokasi yang diserobot tersebut sebelumnya adalah hutan dan parahnya oknum-oknum tersebut hanya menggunakan narasi tanpa dikuatkan oleh bukti dan saksi-saksi.

Peristiwa penyerobotan lahan di sekitaran wilayah tersebut mulai terjadi sejak tahun 2016. Serta puncak kegelisahan dan ketidak nyamanan masyarakat setempat mengelola lokasi mereka sendiri yg sudah bertahun-tahun mereka kelolah di tahun 2020. Hingga sampai dengan saat ini belum juga berakhir.

Dari tahun 2019 Sudah beragam cara dan upaya korban penyerobot lahan lakukan agar mendapatkan ketenangan dan keadilan, mulai dari melakukan pelaporan kepada pihak Kepolisan Resor Kabupaten Kolaka, mengadu ke pemerintah setempat sampai dengan hingga saat ini hak-hak masyarakat korban penyerobot lahan masih terzolimi.

Penderitaan tersebut masih mereka nikmati hingga saat ini yang pada hakikatnya kata menikmati itu hal-hal yang mengenakkan. Namun, implementasinya yg korban rasakan menjadi bumerang.

Penulis ketahui terdapat beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku oknum-oknum para penyerobot lahan yakni Pasal 385 ayat (1), Pasal 167 ayat (1), serta pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) pasal tersebut di atas mampu menjadi referensi untuk dasar menaklukkan para oknum-oknum penyerobot lahan. Olehnya itu, penulis menaruh harapan yang sebesar-besarnya kepada penegak Hukum dalam hal ini Kepolisian Resor Kabupaten Kolaka untuk menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat yang telah dilayangkan dan menindak tegas para pelaku penyerobot lahan masyarakat yang telah dikuasai sejak lama dan bahkan sudah bersertifikat. Agar terjadi efek jerah buat pelaku.

Oleh:
Muh. Hasrul La Aci
Advokat dan Mahasiswa Program Studi S2 Hukum UHO

Komentar