Oleh: Jaelani, S.IP. M.Si
Ketua Umum Gema Desantara
Nusantara abad 15 memang bak gadis penuh pesona. Bagi Belanda dan Portugis, pesona Nusantara terletak pada hasil pertanian dan perkebunannya. Memiliki Nusantara berarti menguasai sumber kehidupan bernama pangan.
Pangan adalah solusi jitu untuk mengatasi gejolak sosial politik dan ekonomi yang tengah melanda negeri mereka. Portugal tiba di Nusantara sekitar tahun 1512. Armada Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman menyusul pada tahun 1596.
Sejarah mencatat, bagaimana persaingan bangsa Portugis dan Belanda demi memiliki Nusantara. Meski akhirnya Belandalah yang berhasil menancapkan kukunya selama berabad-abad. Belanda menerapkan tanam paksa dan kerja rodi demi rempah-rempah. Pangan memang bukan melulu urusan beras.
Kejayaan pertanian dan perkebunan Nusantara mengalami kemunduran ketika penduduk terfokus pada usaha merebut kemerdekaan. Saat kemerdekaan Indonesia berhasil direbut, kondisi pertanian dan perkebunan Nusantara telah lesu. Pesona Nusantara memudar.
Barulah pada masa orde baru pemerintah kembali fokus mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan. Teknologi di perkenalkan. Pembukaan lahan digenjot. Hasilnya, Indonesia mencapai swasembada beras. Sayangnya pertanian organik pelan-pelan dilupakan.
Namun kejayaan orde baru pun tak bisa bertahan lama. Krisis moneter dan gejolak politik Indonesia pada era akhir 90-an membawa ekonomi Indonesia pada titik nadir. Gerakan Reformasi meletup.
Pemuda Nusantara
Dua puluh hingga tiga puluh tahun ke depan Indonesia akan mendapat bonus demografi. Pemuda berusia 20-40 tahun akan mencapai populasi 24,3 persen. Karenanya untuk mewujudkan ketahanan pangan, pemuda Indonesia mesti bergerak dari sekarang.
Sebuah gerakan bernama Generasi Muda Desa Nusantara (Gema Desantara) mempelopori kebangkitan pemuda di sektor pertanian. Pertanian organik menjadi salah satu pilihan utama.
Gerakan ini meyakini kejayaan Nusantara dahulu bisa dimulai dari desa. Manfaat lainnya, urbanisasi dapat ditekan.
Gerakan ini mendorong para pelaku pertanian organik di desa-desa di seluruh Indonesia untuk menyebarkan pengetahuan mereka kepada para pemuda. Selain memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian organik berbasis kearifan lokal, mereka juga membangun kemampuan pemuda dalam berorganisasi di bidang pertanian.
Nantinya, mereka akan menjadi kader-kader pemuda pelopor pertanian organik yang memiliki kemampuan dan kesadaran memajukan tata kelola pertanian mulai dari proses produksi sampai manajemen distribusi.
Gerakan ini telah berjalan di sejumlah provinsi di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, gerakan ini telah menggema di desa-desa yang menjadi basis pertanian daerah ini. Kepeloporan telah berjalan di Konawe, Konawe Selatan, Buton, Bombana hingga Bumi Mekongga Kolaka. Daerah-daerah tersebut dikenal memiliki sejarah dan kisah sukses tentang pertanian.
Harapannya adalah, gerakan ini dapat menghasilkan 1.000 pemuda pelopor pertanian organik di seluruh indonesia. Setidaknya di setiap kabupaten dapat melahirkan 50 pemuda pelopor pertanian organik. Dengan cara ini pesona dan kejayaan pertanian Nusantara bisa kita kembalikan.
Pertanian Organik
Data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2018 menyebutkan, luasan lahan pertanian non sawah di Sulawesi Tenggara mencapai 2.934.648 hektar. Sementara lahan bukan pertanian mencapai 732.321 hektar. Data tersebut menunjukkan Potensi pertanian organik di Sulawesi Tenggara cukup potensial dikembangkan. Hal ini juga didukung oleh data Sensus Pertanian tahun 2013 yang menyebutkan bahwa usaha pertanian di daerah ini masih didominasi oleh rumah tangga. Jumlah rumah tangga usaha pertanian tercatat sebanyak 316.262. Jumlah ini setara dengan seperempat dari sekitar 2 juta penduduk Sultra.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, Asis Fair, dalam sebuah wawancara dengan awak media di Kendari (25/3/2018), menyebutkan, lahan potensial untuk pengembangan persawahan di daerahnya mencapai 35.498 hektar. Dari luasan itu, baru 17.182 hektar lahan yang bisa dimaksimalkan.
Kabupaten Buton Utara baru-baru ini tak ragu mencanangkan diri sebagai kabupaten pertanian organik. Hal tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Bupati. Masyarakat Buton Utara sebenarnya telah mengenal sistem pertanian organik dari nenek moyang mereka. Tanaman padi organik yang telah dikembangkan yaitu jenis beras merah dan beras hitam di atas lahan seluas 500 hektar.
Angka-angka di atas menunjukkan besarnya potensi pengembangan sektor pertanian di daerah ini. Nilai ekonomisnya pun bisa ditingkatkan bila para petani konsisten menerapkan sistem pertanian organik.
Selain dapat meningkatkan kesejahteraan petani, pertanian organik bisa membuat pesona Nusantara merona kembali. Dirgahayu ke-73 Proklamasi Republik Indonesia. Jayalah Bangsaku. Jayalah Pertanian Indonesia. ***