KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kempo itu bagian dari beladiri. Membela diri berarti mengelak atau menangkis serangan dulu, baru membalas sesuai dengan kebutuhan. Semua Kenshi dilarang menyerang terlebih dahulu sebelum diserang.
Kalau serangannya dalam bentuk pernyataan atau saling klaim, lalu para Kenshi harus bagaimana?
Begitulah sepintas nasib olahraga bela diri tanah air, saling klaim siapa yang paling benar, siapa yg legal dan ilegal, padahal prestasi jeblok tak ada yang bisa dibanggakan.
Semoga dualisme dalam cabang olahraga ini tidak hanya berkutat pada persoalan siapa yang berhak menikmati anggaran pembinaan atlit kedepannya. Lebih ambyar lagi kalau hanya disebabkan karena masalah massa pengikut untuk kepentingan Pilkada nanti.
Ditengah boroknya penghasilan ekonomi saat ini, sebenarnya olahraga bisa menjadi peluang kemajuan bangsa, minimal pelipur lara. Namun apa daya olahraga juga ikut terkooptasi dengan model politik pemerintahan.
Hari ini kita terpaksa menerima pada dualisme Kempo yang berbeda, meskipun dengan literasi yang terbatas, dualisme merupakan teori yang rapuh.
Perbedaan antara PERKEMI dan PORKEMI adalah dualisme yang tidak perlu disatukan. Kalau mau dipaksakan untuk disatukan, khawatirnya menjadi tarung bebas ala Mixed Martial Arts (MMA) seperti ucapan senator Amarika John McCain yakni “sabung manusia” dalam Ultimated Fighting Championship (UFC).
Jika hanya persoalan anggaran maka Kempo harus mengikuti pola UFC-nya Dana White yang konon dari olahraga ‘barbarian’ kini berubah menjadi industri hiburan yang bernilai nyaris US$ 3 miliar.
Kalau tentang massa pendukung Pilkada nanti, Kempo harus berubah jadi pertarungan gladiator seperti kisah Maximus di Colloseum dalam tradisi Imperium Roma. Konon cara ini dilakukan Kaisar Roma, Lucius Aurellius Commodus untuk melegitimasi kekuasaan dengan cara menghibur rakyatnya.
Tentu Kempo berbeda dengan kedua hal diatas. Karena doktrin Shorinji Kempo “perangilah dirimu sendiri, sebelum memerangi orang lain.”
PERKEMI lahir dengan statuta tradisi-budaya, sementara PORKEMI dengan statuta sport-olahraga. Mari kita rayakan perbedaan ini dengan mengedepankan prestasi.
Quo vadis?
Redaksi