Categories: Opini

Kotak “Kardus” dan Spekulasi Kecurangan Pemilu 2019

Share
Dengarkan

Oleh : Andang Masnur

Seakan menjadi trend, dua hari kemarin media sosial diramaikan dengan postingan “nyinyir” tentang kotak suara Pemilu yang terbuat dari kardus. Berbagai bentuk benda yang sehari-hari tidak terbuat dari kardus digambarkan dengan kardus. Mulai dari kompor, Hp, rumah dan masih banyak lagi. Seolah ingin memberikan sindiran kepada KPU selaku penyelenggara tekhnis Pemilu. Bahkan ada yang sampai tega membuat postingan ingin membuat pesawat terbang berbahan kardus dan didalamnya memuat KPU beserta jajarannya. Tujuannya besarnya adalah, ingin membandingkan kotak suara Pemilu yang hari ini terbuat dari kardus dengan kotak suara yang terbuat dari aluminium.

Tidak sedikit orang yang melihat postingan-postingan tersebut ikut berkomentar negarif. Ada juga yang justru ikut-ikutan membuat gambar-gambar baru benda yang terbuat dari kardus. Begitu kreatif, seakan gerakan ini masiv di dunia maya. Postingan-postingan ini menambah hangatnya isu jelang Pemilu 2019.

Jika pertanyaan meragukan ini muncul sekarang, sebenarnya bisa dikatakan telat. Sebab, desain kotak suara dengan berbahan karton (bukan kardus ind#mi dan ro#*k) kedap air ini mulai digunakan sejak Pilpres 2014, meski saat itu kotak suara yang terbuat dari aluminium masih banyak digunakan oleh penyelenggara pemilu. Pada pelaksanaan Pilkada serentak juga telah dipergunakan pada 3 tahun pelaksanaan yaitu, tahun 2015, 2017 dan 2018.

Selanjutnya, desain kotak suara dengan berbahan karton kedap air ini memiliki bahan yang memang telah diuji ketahanannya. Kotak suara tersebut mampu menahan beban hingga seberat 100 Kg dan tidak akan rusak jika hanya terpercik air atau terguyur hujan dalam batas tertentu.

Pengadaan kotak suara ini juga tidak seremeh apa yang digiring oleh narasi negatif di luaran sana. Sebab desain ini telah dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh KPU RI, Pemerintah dan DPR RI (sesuai dengan UU No. 7 tahun 2017 pasal 75 ayat 4). Ada proses konstitusi di sana, yang melibatkan lembaga negara. Dan yang lebih utama lagi produknya pun adalah produk lembaga negara yang didasari oleh pertimbangan hukum. Pun juga ada banyak partai (pengusung calon) yang ikut menyetujui rumusan tersebut hingga berbuah menjadi produk hukum. Sehingga, sangat membingungkan jika, hari ini kemudian muncul lagi pertanyaan mengapa kotak suara Pemilu terbuat dari kardus atau karton.

Spekulasi kecurangan juga tidak lepas menghiasi isu kotak kardus tersebut. Tudingan permainan curang oleh salah satu kelompok dalam Pemilu mendatang pun bergulir. Padahal KPU ini, adalah lembaga independen yang jelas-jelas tidak memihak kubu atau kelompok mana pun. Perangkat penyelenggaraan Pemilu juga tidak tunggal menempatkan KPU dan jajaran sebagai “one man show” pada pesta demokrasi tersebut. Kita harus ingat, bahwa ada Bawaslu dan jajaran yang mengawasi setiap tahapan yang dijalankan. Ada DKPP yang menjadi lembaga pengadil bagi penyelenggara yang dinilai melanggar etik.

Bagaimana bisa kita berfikir kotak karton tersebut, adalah bagian dari rencana kecurangan. Kalau kita memahami alur-alur kerja penyelenggara mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPU Provinsi dan KPU RI tentu semua akan terbantahkan. Hasil rekapitulasi perolehan suara mulai dari tingkatan paling bawah diplenokan secara berjenjang sampai ke penyelenggara tingkat atas.

Pleno ditingkat kecamatan oleh PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) adalah akumulasi rekapituasi dari KPPS dan PPS di bawahnya. Begitu juga dengan pleno oleh KPU Kab/Kota adalah akumulasi dari hasil rekapitulasi oleh PPK di wilayahnya. Tentunya jika ada pergesaran jumlah perolehan suara maka akan terbaca dilakukan oleh penyelenggara mana dan ditingkatan mana. Maka yang berani berbuat telah ada regulasi dan seperangkat aturan yang menunggu untuk ditindak.

Yang paling penting, kita tentu tidak bisa mengabaikan bahwa, dalam pelaksanaan pemungutan suara ini dilakukan secara umum dan terbuka. Artinya bahwa, pemungutan suara disaksikan langsung oleh masyarakat, saksi-saksi dari pasangan calon maupun saksi partai politik, ada pemantau Pemilu dan tentu ada rekan-rekan pers. Yang pastinya keberadaan mereka saat hari H pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah bagian untuk memastikan tidak ada praktik kecurangan yang terjadi di sana nantinya.

Selanjutnya, setelah dilakukan pemungutan suara, penghitungannya pun tetap dilakukan secara terbuka dan disaksikan langsung oleh masyarakat, saksi, Panwaslu, pemantau dan lain sebagainya. Kita sangat sulit membayangkan ada celah dimana hingga diluaran sana seenaknya beropini, bahwa kotak tersebut merupakan bagian dari rencana kecurangan.

Padahal sepatutnya semua elemen penting dari hajat demokrasi ini membantu KPU dan Bawaslu dalam menyelesaikan Pemilu ke depan dengan lancar. Kita juga harapkan, segenap lapisan masyarakat tidak mudah menyebar dan percaya dengan propaganda yang mengarahkan pemikiran kita untuk tidak mempercayakan penyelenggaraan ini kepada KPU dan Bawaslu. Jika tidak kepada mereka, lantas kepada siapa lagi kita hendak mempercayakan pesta demokrasi ini terselenggara dengan baik?

Hakikatnya kotak suara, adalah sebuah media yang dipakai sebagai bagian untuk mengamankan suara rakyat yang telah disalurkan. Terbuat dari apa pun dia, jika niat kita memang tidak benar, maka pasti kita akan berfikiran tidak baik pula. Kedudukan kotak disana tidak hanya menjaga jumlah, tetapi yang utama adalah menjaga nilai. Bahwa kepercayaan kita terhadap penyelenggara Pemilu dan menghilangkan kecurigaan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, adalah nilai yang paling tinggi. Kita tentu percaya bahwa, bangsa ini semakin hari semakin menunjukkan kedewasaannya dalam berdemokrasi. Dan yang paling akhir adalah, bahwa Pemilu kita mempunyai sistem dan perangkat yang jelas. Maka saat semua instrumen ini bekerja dengan baik, kotak suara dari apa pun tetap akan menjaga suara rakyat yang dari bawah, jelas tidak akan merubah jumlah hingga pada saat pleno di tingkat KPU RI mendatang. (***)

Komentar