kesbangpol sultra
Opini

Investasi Tambang dan Perlindungan Hak Milik atas Tanah Rakyat

Dengarkan

Sejak lahir UUPA ( UU No. 5 Tahun 1960 ) telah terjadi unifikasi hukum dilapangan Hukum Agraria. Artinya tidak ada lagi pemberlakuan hukum kolonial di Indonesia berkenaan dengan pengakuan dan pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia.

Hal itu ditandaskan dalam pasal 16 ayat (1) UUPA mengenai macam-macam hak atas tanah, termasuk di dalamnya adalah pengakuan hak atas tanah berstatus Hak Milik.

Dalam perspektif Hukum Agraria, semua hak-hak atas tanah mendapat jaminan perlindungan hukum tentang cara perolehannya, syarat tenggang waktu (daluwarsa) berakhirnya dan tujuan peruntukannya. Namun yang jauh mendapat prioritas secara eksklusif dan istimewa (privilege) adalah Hak Milik.

Hak milik dalam UUPA telah diatur dan dijamin perlindungannya sesuai ketentuan pasal 20 ayat (1) yang dititik beratkan sebagai hak turun temurun terkuat dan terpenuh, yang dimaknai secara hak keperdataan sebagai hak atas tanah yang dapat diganggu gugat (droit inviolable et sacre) oleh siapapun yang bukan sebagai pemilik atas tanah.

Perkembangan pemenuhan hajat hidup manusia, termasuk kebutuhan akan tanah menjadi hal yang sangat mendasar. Diantaranya baik untuk kebutuhan perumahan (property), pertanian, perkebunan bahkan yang lebih krusial lagi adalah eksplorasi pertambangan.

Di Indonesia, pemerintah telah mengatur dan menjamin kegiatan eksplorasi pertambangan berdasarkan ketentuan undang-undang dan Peraturan Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral).
Misalnya UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang kemudian secara teknis operasional diperkuat dengan peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 mengenai Pengelolaan Tambang Mineral dan Batu Bara.

Hal ini telah menunjukan bahwasanya kebutuhan tanah secara mendasar tidak terelakan lagi bagi kebutuhan yang sifatnya konvensional yang berupa kebun dan bertani, tetapi telah merambah jauh sampai pada kegiatan ekplorasi maupun ekploitasi yang bertujuan untuk kebutuhan hidup berskala besar dalam hal ini investasi bagi negara disektor BUMN ataupun BUMD dibidang usaha pertambangan.

Mari kita ambil contoh kongkrit pada salah satu kabupaten di Sulawesi-Tenggara yaitu Kabupaten Bombana. Hampir sebagian besar investasi pertambangan telah merambah masuk sebagai kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga tanah-tanah berstatus Hak Milik menjadi fokus dan sentralistik pengembangan investasi disektor tambang. Tidak bisa kita pungkiri, negara memiliki otoritas (kekuasaan) untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatan tanah sebagai lahan investasi untuk pemasukan (devisa) bagi negara. Dan disisi lain untuk kepentingan umum bagi pembangunan bangsa dan negara, tanah juga berfungsi sebagai fungsi sosial, tetapi harus tetap disertai ganti rugi, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUPA.

Dalam perspektif hukum, tindakan pemerintah untuk berinvestasi dibidang usaha tambang sah adanya sebagaimana telah diregulasikan. Tetapi pola kelestarian hidup hayati, ekonomi rakyat, dan perlindungan hak atas tanah harus dijaga dan dilindungi, terutama hak milik. Kita butuh perlakuan yang adil dan seimbangan antara dunia usaha investasi tambang oleh negara dan perlindungan hak milik atas tanah rakyat.

Hak milik atas tanah rakyat yang dipergunakan untuk kepentingan umum untuk kegiatan pembangunan, wajib hukumnya menerapkan prinsip asas keadilan atas pemberian ganti rugi lahan kepada pemilik tanah, termasuk benda-benda yang berada diatasnya baik bangunan atau tanaman.

Namun jika itu berkaitan dengan pengolahan investasi tambang swasta (korporasi) berupa penanaman modal dalam atau luar negeri (asing), maka penyelesaiannya dengan mekanisme tersendiri.

Terlepas dari dua sisi kepentingan hukum yang berbeda regulasinya, prinsip yang wajib dipertahankan adalah investasi lahan tambang tidak boleh menciderai pengakuan hak milik atas tanah rakyat.

Tentunya jika berjalan secara sinergi kedua hal tersebut, maka implementasi dari tujuan hukum agraria nasional telah terwujud berupa mensejahterakan ekonomi rakyat sebagai cita- cita negara menuju masyarakat adil dan makmur.

Namun dalam kenyataannya masih mengalami hambatan yang mendasar mengenai investasi lahan tambang atas tanah- tanah rakyat, dan menjadi konflik di bidang agraria yang pada akhirnya menjadi sengketa hukum, baik karena status lahan karena pengakuan hak atas tanah maupun dari segi nilai ekonomisnya dalam hal ini harga tanah.
Inilah problem mendasar, yang menurut saya pemerintah pusat maupun daerah segera menuntaskannya secara arif dan bijak dalam bingkai hukum yang profesional dan proporsional.

Jika itu dilakukan dengan serius, objektif, transparan dan optimal, maka sudah tentunya konflik pertanahan mengenai invetasi tambang menjadi teratasi secara baik bagi masyarakat dan pihak yang mau menanamkan dananya (modal) pada dunia usaha investasi tambang.

Untuk itu negara akan menjadi kuat karena sehat dalam investasi tambang, dan hak milik atas tanah rakyat menjadi terproteksi bila tercipta keseimbangan hidup antara kebijakan investasi dan pengakuan hak milik atas tanah rakyat.

Hal itu akan menjadikan tanah hak milik rakyat sebagai fungsi sosial bagi kepentingan umum untuk pembangunan, juga telah menghidupkan rakyat dalam semangat agraris dalam UUPA. Bukan komersialis sebagai bentuk imperialis kenangan masa lalu era kolonialis.

Oleh : Nala Natasya, S.H
Pengacara Perhimpunan Advokat Indonesia.

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

AJP ASLI Pilwali Kendari 2024