Metro Kendari

IPSPI Sultra dan Loka Minaula Kendari Hadiri Uji Sahih UU Nomor 11 Tahun 2009

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) Sulawesi Tenggara (Sultra) bersama Loka Lansia Minaula Kendari menghadiri seminar uji sahih RUU perubahan UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Tanduale Kantor Bupati  Bombana, Senin, 21 Juni 2021 kemarin. Adapun kegiatan ini diselenggarakan oleh Komite III DPD RI dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bombana.

Sejumlah pejabat seperti Bupati Bombana, anggota Komite DPD RI, jajaran SKPD, lembaga kesejateraan sosial (LKS), pendamping sosial, tokoh masyarakat dan akademisi dari berbagai universitas di Indonesia hadir dalam uji sahih tersebut.

Ketua delegasi Komite II DPD RI, Evi Apita Maya mengatakan, tujuan seminar ini dalam rangka menyosialisasikan dan menjaring aspirasi masyarakat terkait rancangan perubahan UU Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang nanti akan menjadi usul inisiatif dari DPD RI sebagai program legislasi nasional.

Di tempat yang sama, Darmin Tuwu selaku akademisi menjelaskan bahwa Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial perlu dilakukan, mengingat tuntutan zaman di mana permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin kompleks.

“Masalah kesejahteraan sosial di tengah masyarakat sudah semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas,” katanya.

Sehingga lanjut dia, diperlukan upaya revisi peraturan perundang-undangan yang mampu menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat. Jadi tidak hanya pada tataran penanganan atau penyembuhan, tetapi juga pada tataran preventif atau pencegahan.

Sementara itu, Ketua DPD IPSPI Sultra, Syamsuddin menyampaikan beberapa masukan terkait rancangan perubahan UU Nomor 11 tahun 2009.

Pertama ia menyoroti pada tiga hal pokok, yakni anggaran, sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial, dan nomenklatur sumberdaya manusia (SDM) kesejateraan sosial.

Sebab dituturkannya, terkait kebijakan penganggaran, dalam UU Nomor 11 tahun 2019 hanya mengatur sumber pendanaan tapi tidak mengatur terkait alokasi anggaran.

“Kami berharap dalam revisi ini besaran alokasi anggaran penyelenggaraan kesejahteraan sosial APBN dan APBD bisa diatur,” kata Syamsuddin.

Selain itu, lanjut Kepala Loka Lansia Minaula Kendari ini menjelaskan bila dibandingkan penyelenggaraan layanan publik pada sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan, terlihat jelas ketimpangannya atau pun ketidakberpihakan pemerintah terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Sebagaimana diketahui dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kebijakan penganggarannya sebesar minimal 20 persen dari APBN atau APBD.

Demikian halnya untuk urusan kesehatan, melalui UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kebijakan penganggarannya minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.

“Urusan sosial berapa persen?,” tanya Syamsuddin.

Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pada BAB XII tentang pendanaan pasal 51, bahwa sumber pendanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi, dari APBN dengan alokasi minimal 15 persen di luar gaji.

Kemudian APBD dengan alokasi minimal 15 persen di luar gaji. APBDes dengan alokasi minimal 10 persen, sumbangan masyarakat, dana yang disisihkan dari dunia usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Bantuan asing sesuai kebijakan pemerintah dan peraturan perundangan-undangan, serta sumber pendanaan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terkait isu SDM, dia kembali menyarankan agar pada pasal yang khusus mengatur tentang pekerjaan sosial adalah profesi utama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang berkolaborasi dengan profesi kesejahteraan sosial lainnya.

Kemudian, setiap lembaga/instansi kesejahteraan sosial baik yang dikelola oleh pemerintah maupun masyarakat wajib menyediakan pekerja sosial.

Dijelaskannya lagi, pekerja sosial dan SDM kesejahteraan sosial lainnya berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum.

Pekerja sosial pofesional dan profesi kesejahteraan sosial lainnya berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

“Pekerja sosial pofesional dan Profesi kesejahteraan sosial lainnya dalam melaksanakan tugasnya dan berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban profesi dalam kesejahteraan sosial diatur dalam peraturan perundangan lainnya,” katanya.

Ihwal nomenklatur penyebutan istilah bagi pekerja garis depan penyelenggara kesejahteraan sosial, Syamsuddin memberikan opsi antara lain, tenaga kesejahteraan sosial, pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial, SDM kesejahteraan sosial dan profesi dalam penyelenggaraan Kesejahteraan sosial.

Syamsuddin kembali merekomendasikan perihal anggaran dan SDM penyelenggaraan kesejahteraan sosial, maka perlu dilakukan kajian/penelitian di dinas atau instansi sosial.

“Kalau menyangkut anggaran atau program di setiap dinas sosial (Dinsos), kemudian jumlah pekerja sosial yang ditempatkan pada Dinsos tersebut, kajian momenklatur terkait SDM yang bekerja dalam penyelenggaraan kesejahteraan  sosial,” jelasnya.

Disamping itu, salah satu peserta dari unsur tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) Asrul, mengatakan dengan adanya RUU perubahan UU Nomor 11 2019, diharapkan dapat mengakomodir masalah insentif yang selama ini selalu jadi masalah.

“Yang kami minta itu, kami para TKSK hanya ingin menerima insentif yang sesuai dengan hasil kerja kami seperti halnya dengan pendamping sosial lainnya,” tandasnya. (bds*)

Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button