DPP NasDem Kritik DPR RI Soal Minimnya Capaian Prolegnas 2021
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP NasDem Atang Irawan mengkritik capaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR pada 2021.
Pada 2021 lalu, DPR hanya mampu mengesahkan delapan Rancangan Undang-Undang (RUU) dari 33 RUU yang ada di Prolegnas.
Atang mengatakan, secara kuantitatif dan kualitatif, prolegnas DPR tidak memiliki perubahan signifikan dibanding realisasi tahun-tahun sebelumnya. Maka, ia menilai capaian prolegnas masih belum ada perbaikan.
“Jika berkaca ke belakang maka dapat dikatakan bahwa prolegnas masih mengalami potret buram,” tulis dia dalam rilis yang diterima Detiksultra.com, Senin (3/1/2021).
Adapun delapan RUU itu yakni RUU Kejaksaan, RUU Jalan, RUU Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, serta tiga RUU mengenai pembentukan pengadilan di beberapa daerah.
Atang mengatakan, pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah RUU yang ditetapkan tidak banyak berubah. Jumlah RUU yang ditetapkan hanya sedikit dibanding yang masuk prolegnas.
Ia memberikan contoh, pada 2015 hanya 3 RUU yang disahkan, lalu 10 RUU pada 2016, enam RUU pada 2017, lima RUU pada 2018, 14 RUU pada 2019, dan tiga RUU pada 2020.
Padahal Atang mengatakan, prolegnas prioritas tahunan seharusnya didasari tujuan bernegara secara filosofis tegas dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945. Bukan sekadar deretan daftar RUU yang dibahas dalam satu tahun dan terkesan hanya untuk kejar setoran.
“Sehingga, prolegnas bukan hanya keranjang sampah yang kemudian dipungut dengan dasar kesukaan lembaga pembentuk undang-undang,” cetus Atang.
Atang menilai banyaknya RUU yang memiliki relasi kuat (close engagement) dengan tercerabutnya pemenuhan hak konstitusional rakyat justru tidak ditetapkan sebagai UU.
Misalnya saja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Hukum Adat dengan alasan persoalan-persoalan teknis harmonisasi kemudian menjadi terabaikan.
“Meskipun NasDem tetap memperjuangkan agar RUU tersebut menjadi prioritas untuk ditetapkan, namun konfigurasi politik di legislatif belum responsif terhadap kepentingan rakyat,” ujarnya.
Ironisnya, beberapa RUU yang dinilai penting itu menurut Atang tertunda hanya karena alasan persoalan-persoalan teknis harmonisasi kemudian menjadi terabaikan.
“Sebaiknya tarik menarik kepentingan dan perbedaan pandangan menjadi kekuatan pokok dalam perumusan, pembahasan dan penetapan RUU yang berimplikasi kepada perlindungan hak-hak fundamental rakyat,” papar Atang.
Ia menuturkan, potret buram orkestrasi politik legislasi nasional 2021 sebaiknya menjadi catatan strategis di tahun 2022, sehingga tidak perlu terlalu banyak daftar deretan RUU (wist list) yang pada ujungnya juga tidak selesai dengan maksimal.
“Sebaiknya prioritaskan beberapa RUU akan tetapi jelas bahwa responsibilitas dan progresifitasnya demi kepentingan rakyat,” tandas dia. (bds*)
Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki