Metro Kendari

Polemik UU ITE, Begini Sudut Pandang LM Bariun

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Rencana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eelektronik (ITE) jadi bahasan seksi dalam diskusi, dimana ITE diundang-undangkan terus menuai pro dan kontra.

Bila bicara ke belakang lahirnya reformasi, salah satunya saat itu tuntutan adanya kebebasan. Maka di amandemen-lah UU 45 dituangkan dalam Pasal 28, isinya hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul juga mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, sehingga dari prespektif tersebut maka lahirlah UU ITE.

Pengamat Tata Negara Sultra, Dr LM Bariun menilai bagi masyarakat yang kontra, UU ITE justru dianggap membatasi kebebasan menyatakan pikiran di ruang publik maupun dunia maya, hal ini dapat dilihat pada Pasal 27, 28 dan pasal 29 UU ITE. Pasal-pasal yang digunakan ini, malah dianggap mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis.

“Yang menjadi pertanyaan, dimana wujud demokrasi, karena beda pendapat merupakan shering sepanjang itu konstruktif, maka dilihat dari struktur hiraksis per UU, maka UUD 45 merupakan hukum tertinggi tidak dapat bertentangan dengan UU dibawahnya dan ini yang menjadi kontra versi, sehingga dengan adanya revisi UU ITE, diharapkan dapat merubah pasal-pasal karet yang menjadi multitafsir tersebut karena sudah banyak korban terhadap pasal 27,28,dan pasal 29 itu,” katanya.

Lanjutnya, pembuatan sebuah UU hanya sebuah tekstual tergantung pelaksananya dan penegakan UU, hal itu baru berfungsi jika publik merujuk ke produk KUH Pidana dan Perdata, produk Hindia Belanda yang menjadi warisan di negara RI, dimana tidak terjadi multitafsir dalam pelaksanaanya karna konstruksinya baik dari sisi filosofi, sosiologi, dan yuridisnya begitu paripurna.

“Mengapa demikian? Di banding produk UU orde baru dan era reformasi selalu saja terjadi revisi dan amandemen juga dilakukan yudisial review ini mendakan kita belum melahirkan UU yang sejatinya dengan membaca tanda-tanda jaman yang selalu ada dinamika yang namanya UU itu seyogyanya menjadi penyejuk , pengayom, pedoman dan menjadi pijakan bagi penegak hukum dalam berbangsa dan bernegara untuk mencapai kesejahteraan dan berkeadilan.

Kata Direktur Pascasarjana Unsultra ini, perlu pemerintah dan DPR RI merefleksi UU yang tidak sejalan dengan tujuan reformasi dan negara demokrasi juga yang tidak berpihak kepada masyarakat sebagai perwujudan rakyat yang berdaulat yang telah memberi mandat kepada pemimpinya dan DPR nya.

“Bila ingin berkehidupan yang damai lahirkan UU yang baik dan tidak menimbulkan multitafsir sehingga masyarakat menjadi nyaman dan melahirkan ketertiban,” tukasnya.

Reporter: Sesra
Editor: Via

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button