kesbangpol sultra
Advertorial

Muhamad Ali: Kekuasaan Bukan Tujuan Akhir

Dengarkan

Gagal menjadi calon bupati Wakatobi tahun 2016, tak membuat Muhamad Ali kehilangan panggung politik. Ia masih dicintai pendukung dan simpatisannya. Bagi Ali, kekuasaan bukan segalanya, bukan tujuan akhir. Tujuan berpolitik baginya, ialah memperjuangkan kepentingan masyarakat, membela hak-hak masyarakat.

Ali menjadi anggota DPRD Wakatobi periode 2009-2014, dan kembali dipercaya rakyat duduk di parlemen periode 2014-2019. Menariknya, pada kedua periode tersebut Ali menduduki posisi ketua DPRD Wakatobi. Pada Pemilu 2019, Ali memastikan tetap setia bersama PDIP.

“PDIP menjadi sangat menarik bagi saya, karena PDIP mengusung ideologi yang cocok dengan saya. Kita tidak soal
merebut kekuasaan saja, tetapi yang paling penting bagaimana bisa tertawa dan menangis bersama rakyat dan menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat,” tandas Ali.

Mulanya Ali bersikap apolitis, karena didasari persepsi bahwa salah satu penyebab rusaknya bangsa adalah carut marut politik. Ali terjebur dalam politik saat Pemilu 1999, saat itu muncul fenomena perlawanan kaum sipil terhadap dominasi militer dalam kekuasaan. Kala itu, PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi, diusung sebagai calon presiden yang notabene berasal dari kaum sipil, melawan hegemoni militer dalam kekuasaan.

[artikel number=3 tag=”dprd,anggota dewan,wakatobi” ]

Tidak terbayang dalam benaknya akan terlibat dalam dunia politik praktis. Pasalnya, Ali lebih menyukai aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia begelut di LSM Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra. Bahkan Walhi yang dikenal lembaga nirlaba sangat kritis itu, Ali dipercaya menjabat Dewan Daerah. Tak sampai disitu, Ali kemudian bersama-sama Ir. H. Syamsuddin Rahim, M.Si (Ketua DPRD Kota Kendari) mendirikan LPSM Yayasan Bina Potensi Wanita (Yasinta).

Pada Pemilu 1999, Ali mulai ikut menjadi relawan dalam pemilihan presiden dan berafiliasi mendukung calon non militer. Meski demikian, sikap apolitis terhadap dunia politik tetap dijunjung, karena cara pandangnya terhadap politik yang dijabat kalangan militer saat itu adalah “kecelakaan” sejarah.

Pengalaman politik Pilkada berawal dari ajakan Ir Hugua untuk membantunya saat mencalonkan diri sebagai Bupati Wakatobi periode pertama. Ali benar-benar terlibat jauh hingga menggalang pemilih di akar rumput. Saat itu, dia bersedia membantu dengan kesepakatan akan diperkenalkan dengan donor EED Jerman, agar bisa membantu program di daerah binaannya di Sultra seperti Kambara (Kab Muna), Rumbia (Kab Bombana), Amonggedo (Konawe), Batauga (Buton) dan daerah lainya.

Hugua akhirnya terpilih dan dilantik menjadi bupati. Ali kembali dipanggil Hugua untuk ditugasi sekretaris pribadinya. Posisi itu baginya seperti mimpi, karena ia jarang bersentuhan dengan birokrasi apalagi bekerja di belakang meja untuk memberikan pertimbangan kepada bupati di bidang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

Pada 2007 ia mulai dimasukkan dalam kepengurusan PDI-Perjuangan dan menjabat sebagai Wakil Ketua DPC Bidang Lingkungan Hidup. Selanjutnya mengisi kekosongan Sekteraris DPC sebagai pelaksana tugas sementara. Lalu ditugaskan untuk membentuk PAC-PAC di semua kecamatan di Wakatobi. Tugas ini ia jalankan dengan baik, hingga mengantarnya masuk dalam jabatan struktural.

Memasuki tahun 2008, Ali disarankan teman-temannya tampil sebagai anggota dewan. Ia sempat gamang karena belum terlalu mengerti tugas seorang anggota dewan. Alhasil, berkat saran serta penjelasan akan tugas-tugas legislatif, akhirnya pada Pemilu 2009 mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi dari Dapil Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Meski resmi dilantik menjadi anggota dewan periode 2009-2014, Ali tidak bisa menjadi Ketua DPRD, padahal saat itu ia ikut dinominasikan. Alasannya, posisi ketua sesuai aturan partai harus dijabat pengurus struktural. Selain itu, pertimbangan politis, terlahir dari Tomia menjadi hambatan menjadi Ketua DPRD, karena jabatan Ketua DPRD dan Bupati sama-sama berasal dari Tomia.

Pada akhir 2011, sanksi partai yang diberikan kepada Daryono Moane, mengharuskan partai mengambil kebijakan pergantian posisi Ketua DPRD Wakatobi. Ali pun ditunjuk PDIP menggantikan Daryono, kemudian secara resmi dilantik sebagai Ketua DPRD Wakatobi, 28 Desember 2011. Sementara di struktural partai, Ali dipercaya sebagai Ketua DPC PDIP Wakatobi.

Dalam kendali kepemimpinan Ali, DPRD Wakatobi mengalami kemajuan pesat. Data yang kami himpun menyebutkan: anggota DPRD Wakatobi periode 2009-2014 menyelenggarakan kegiatan terbanyak adalah rapat paripurna sebanyak 276 kali, disusul rapat badan musyawarah 62 dan rapat kerja 59 kali.

DPRD Wakatobi menyelenggarakan rapat dengar pendapat dengan eksekutif sebanyak 42 kali, sedangkan rapat dengar pendapat umum dalam memebahas aspirasi masyarakat yang disampaikan ke DPRD baik melalui aksi maupun melalui pengaduan dan persuratan Sebanyak 36 kali.

Aktivitas dari masing-masing komisi DPRD Wakatobi yakni menyelenggarakan rapat masing-masing sebanyak 43, sedangkan rapat gabungan komisi 38 kali. Sementara rapat fraksi, seluruh fraksi yang ada di DPRD Wakatobi selama lima tahun menyelenggrakan rapat fraksi sebanyak 47 kali dan rapat gabungan fraksi sebanyak 46 kali.

Ali kembali terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi periode 2014-2019 pada Pemilu 2014. Ia dipilih dengan perolehan suara terbanyak yakni 1.922 suara, mengalahkan semua anggota dewan asal Dapil IV (Kec Tomia dan Kec Tomia Timur). Jabatan ketua DPRD pun masih ia emban pada periode 2014-2019.

Memasuki tahun akhir periode kepemimpinan Ali di DPRD, pihaknya menginisiasi sejumlah peraturan daerah (Perda) strategis bagi rakyat Wakatobi. Pertama, DPRD menginisiasi Perda tentang pembangunan berkelanjutan.
“Ada struktur berfikir bahwa ketika pembangunan tidak dilakukan berkelanjutan, sebenarnya kita sedang mengubur uang rakyat yang banyak. Di Wakatobi ada seaworld, masjid kabupaten, museum, sudah puluhan miliar uang rakyat tapi belum selesai. Jika tidak ada political will rezim hari ini lalu tidak melanjutkan, bukankah ada ratusan miliar uang rakyat yang kita tanam. Gimana dengan generasi kedepan jika ini diwariskan turun temurun. Lalu lahirlah gagasan mesti ada program Perda yang memaksa perencanaan pembangunan harus berkelanjutan,” ungkapnya.

Kedua, Perda tentang moda trasportasi masa depan harus terintegrasi antara trasportasi laut dan trasportasi darat, yang kemudian orang tidak berbondong-bondong untuk membeli kendaraan. Untuk 50 tahun kedepan ini bukan hal mudah kalau tidak diantisipasi. Ketiga, DPRD mendesak pemerintah daerah membuat Perda tentang rencana induk pengembangan perikanan kelautan. Ketiga Perda tersebut sedang proses, tareget kita selesai sebelum periode DPRD ini selesai,” tandasnya.

Selain itu, menurut Ali, pihaknya berkomitmen untuk menekan pemerintah daerah supaya melahirkan sebuah perencanaan yang terukur. Eksekutif diminta membuat peraturan daerah inisiatif, yakni Perda tentang pendidikan kepulauan, Perda tentang sistem pendidikan pulau, dan Perda tentang sistem kesehatan pulau.

Saat pertama kali menjadi anggota dewan (2009-2014), Ali selalu terfikir, bersikap idealis, dan merakyat. Ternyata setelah masuk dalam sistem, ada sebuah dinamika yang memang tidak terpikir sebelumnya. Fakta menunjukkan, peranan anggota dewan persis semacam macan ompong yang arah kebijakannya sangat lemah dan hanya menjadi pelengkap pemerintahan. Ali berusaha mengubah mindset itu agar DPRD benar-benar menjadi institusi politik memperjuangkan aspirasi masyarakat dan berusaha membangun pemerintahan yang amanah dan kolektif kolegial.

Cita-cita idealnya dahulu saat berjuang jadi aktivis mahasiswa dan LSM, ternyata tidak segampang direalisasikan setelah menyandang status anggota dewan. Sikap idealis dan harapan besarnya dikerdilkan sebuah sistem dan lingkungan yang memang membuat institusi DPRD tidak terlalu kuat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.

Wajar adanya Ali menghadapi situasi seperti itu, karena latar belakangnya sebagai pegiat pemberdayaan dan advokasi masyarakat, selalu berpikir, bersikap dan berprilaku idealis ketika memperjuangkan hak-hak dan kepentingan masyarakat.

Situasi seperti itu membuat Ali tertantang melakukan perubahan paradigma, agar institusi DPRD berfungsi efektif sebagai wadah penyalur aspirasi masyarakat dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Ia juga berupaya keras agar rumah rakyat itu benar-benar menjalankan tri fungsi amanah rakyat, yakni fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Dari tiga fungsi tersebut, menurut Ali, fungsi legislasi dan kontrol, relatif masih lebih mudah dilakukan, namun fungsi anggaran, ternyata sulit dilakukan secara powerfull. Karena posisi DPRD berbeda dengan posisi DPR-RI yang bisa menjalankan fungsi penganggaran secara baik, sedangkan DPRD diposisikan sebagai bagian dari pemerintah daerah, sehingga dalam fungsi penganggaran masih selalu dikompromikan dengan eksekutif.

Tak hanya menjalankan tri fungsi dewan dengan baik, Ali pun senantiasa memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat, agar bisa melawan proses-proses pragmatis dalam melakukan jual beli suara. Ali berharap agar semua anggota dewan menjadi figur lembaga perwakilan rakyat yang amanah dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Sikap kritis pada diri Ali sebenarnya sudah terpatri dalam dirinya sejak kecil. Di masa kanak-kanak, ia pernah dipergoki pemilik kebun mentimun karena bersama teman-temannya tertangkap tangan mengambil buah mentimun. Saat itu dilaporkan kepada orang tuanya, sehingga setibanya di rumah, ayahnya menghukum Ali dengan teguran keras dan menggantungnya agar tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Dari pengalaman itu, Ali berjanji dalam dirinya untuk tidak pernah lagi mengambil barang orang lain yang bukan miliknya, dan diterapkan selama hidupnya, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk anak-anaknya. Alhasil, selama menjalankan tugas sebagai Ketua DPRD, dia tetap menanamkan prinsip itu, tidak mengambil hak-hak masyarakat, sebaliknya selalu berupaya memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Ali terlahir dari keluarga pendidik yang sederhana di Desa Waitii, Kecamatan Tomia, 14 Desember 1975. Ayahnya La Tembo seorang guru, sedangkan ibunya Wa Aliha adalah seorang ibu rumah tangga.

Ali kecil menghabiskan masa kanak-kanak di desa kelahirannya. Ia menimba ilmu di SD Negeri 2 Waha, lalu di SMP Negeri Waha. Ia mengaku saat di bangku SD dan SMP tergolong biasa-biasa saja, namun selalu masuk di kelompok lima besar pada setiap kenaikkan kelas.

Layaknya anak kebanyakan, Ali kecil selain sekolah dan mengaji, menghabiskan masa kecilnya dengan bermain atau berpetualang ke pesisir  pantai maupun ke gunung. Ia juga senang bermain layang-layang, kelereng dan bermain bola. Bahkan, kala itu pernah membentuk tim sepak bola yang dinamakan dengan Persatuan Sepak Bola Topas (Perseto). Topas sendiri akronim dari Top Anak Pasar.

Anak kedua dari lima bersaudara ini, senang mencari suasana indah dengan memanfaatkan pohon-pohon rindang di sekitarnya. Semata-semata itu untuk mendapatkan inspirasi dan mengaktualisasikan dalam bentuk puisi atau berpidato mengikuti gaya Bung Karno. Dengan hobi seperti itu, tak mengherankan jika Ali selalu menjadi langganan membaca UUD 1945 pada setiap kali upacara bendera.

Tumbuh besar di lingkungan keluarga guru, tak membuatnya tertarik untuk menjadi guru. Ali mengaku merasakan hidup prihatin, karena gaji orang tuanya lebih banyak dijadikan jaminan untuk mengaambil kredit di bank dan di koperasi. Biaya penghidupan selama satu bulan terkadang sisanya tinggal Rp 17 ribu sampai Rp 20 ribu. Itulah yang dijadikan membiayai belanja sekeluarga, kenang Ali.

Guna menutupi kebutuhan keluarga, ayah Ali mencari penghasilan lain seperti memanah ikan di laut, memasang bubu, memancing atau pekerjaan lainnya. Meski begitu, Ali tetap menganggap sosok orang tuanya sangat luar biasa, dan selalu jadikan inspirasi untuk menuntut ilmu. Menurut Ali, meski kehidupan keluarganya terbilang sederhana, namun semangat orang tuanya menafkahi kelima anaknya sangat besar. Orang tuanya tidak berfikir membangun rumah karena yang terpenting anak-anaknya bisa sekolah tinggi.

Setelah menamatkan SMP di kampung halaman, Ali hijrah ke Kota Baubau untuk melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Baubau hingga lulus pada 1994. Tamat SMA ia membulatkan tekad kuliah di Fakultas Pertanian Jurusan Ekonomi Pertanian Universitas Haluoleo (UHO), sesuai cita-citanya masa kecil menjadi insinyur seperti Bung Karno. Saat kuliah di Universitas Haluoleo, Ali sempat aktif di berbagai organisasi intra kampus seperti HMJ dan BEM. Ali juga menyelesaikan S2 Administrasi Publik di Unhalu.

Lelaki yang hobi membaca dan puisi ini, menikah dengan gadis seperjuangan saat kuliah, Martima SP. Pasangan bahagia ini dikaruniai tiga anak: Shella Novianti Ramadhani, Zulhiwan Adwi Buana, dan Juan Anugerah Pancalla. Meski super sibuk sebagai anggota dewan, Ali selalu membagi waktu untuk keluarga.

Sebagai kepala rumah tangga, ia berusaha menyempatkan diri berkumpul dengan keluarga tercinta. Ali selalu menyadarkan istri dan ketiga anaknya, untuk dapat memahami profesinya karena dirinya bukan saja milik keluarga, tetapi juga milik masyarakat Wakatobi. Keluarga besar Ali kini tinggal di Kelurahan Mandati III Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.

Bagi Ali, prinsip yang dibangun dalam kehidupan rumah tangganya, menjalani kehidupan ini ibarat air mengalir, yang pokok tidak mengambil hak orang lain, serta selalu berupaya agar bermakna bagi orang lain. ***

DATA DIRI
Nama : Muhamad Ali, SP, M.Si
Jabatan : Ketua DPRD Kabupaten Wakatobi
Hobi : Membaca dan Puisi
TTL : Waitii, 14 Desember 1975
Partai : PDI-P
Istri : Martima, SP

Anak
1. Shella Novianti Ramadhani
2. Zulhiwan Adwi Buana
3. Juan Anugerah Pancalla

Alamat: Kel. Mandati III Kec. Wangi-Wangi Selatan
No. Tlp. 081341781414

Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 2 Waha
2. Negeri Waha Tomia
3. SMA Negeri 1 Baubau
4. S1 Fak Pertanian Sosek Unhalu
5. S2 Administrasi Publik Unhalu. (NI)

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

AJP ASLI Pilwali Kendari 2024