Opini

Anak Tawuran di Antara Harapan dan Penyelesaian

Dengarkan

Anak adalah anugerah dan harapan besar bagi orang tua dan negara. Anak merupakan pemegang tongkat estafet pertama yang akan menerima semua warisan dalam dinamika negeri ini. Subyek yang dianggap bisa mewujudkan mimpi para petinggi pelaku birokrasi. Sehingga dilatih sejak dini untuk mengelola diri yang berisi emosi dan intelegensi.

Kira-kira begitulah angan-angan semua orang tua yang menunggu kelahiran anaknya. Namun di kemudian hari, tak banyak kecewa yang kemudian dilontarkan. Cacian dan sumpah serapah yang didengungkan perlahan menyingkirkan doa yang selalu di bisikkan. Perilaku menyimpang yang berujung pada kenakalan dan tindak pidana menghancurkan hati para orang tua yang tulus ikhlas membesarkan.

Berbagai berita viral tentang pelanggaran hukum yang dilakukan anak kian banyak bertebaran. Sekolah yang seharunya merupakan lembaga pendidikan berubah menjadi tempat pertarungan. Konon yang digaungkan adalah kekompakan teman sebaya, tapi pada akhirnya menjadi kelompok yang hoby tawuran. Pertarungan jalanan yang jadi ajang adu gengsi berbalut menjaga harga diri siswa siswi.

Berita dan Penyelesaian

Tawuran antar pelajar menjadi kekhawatiran bagi orang tua, lembaga pendidikan dan aparat penegak hukum terkait. Dilansir metronews.com, Komisioner KPAI Retno Listiyarti mengatakan, berdasarkan data yang ada pada tahun 2020 angka tawuran antar remaja sempat turun. Tahun 2021 ketika Pembelajaran Tatap Muka (PTM) baru dimulai kembali, angka tawuran antar remaja naik kembali. Puncaknya pada awal tahun 2022 terjadi peningkatan terhadap angka tawuran antar remaja yang juga memakan korban hingga meninggal dunia.

Pelaku tawuran biasanya dijerat dengan ancaman Pasal 358 KUHP dengan ancaman 2 tahun 8 bulan atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP dengan ancaman 5 tahun 6 bulan. Implementasi Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menjadi sangat dilematis dalam hal ini. Notabene anak remaja atau pelajar yang terlibat tawuran mayortitas merupakan anak dibawah umur atau disebut anak. Dalam UU SPPA anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman dibawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana maka hukumnya wajib diupayakan diversi.

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Undang-undang SPPA juga menyebutkan bahwa upaya diversi ini wajib dilakukan  ditahap penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Upaya diversi ini melibatkan banyak pihak terkait untuk bermusyawarah, dengan tujuan mencari jalan terbaik bagi anak pelaku. Poin besar dari diversi ini adalah hasil kesepakatan yang harus dilakukan dan diselesaikan.

Aparat penegak hukum yang berperan untuk memberikan rekomendasi kesepakatan dalam upaya diversi adalah petugas pembimbing kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas). Rekomendasi tersebut dituangkan dalam laporan hasil penelitian kemasyarakatan setelah melakukan wawancara dan observasi kepada anak pelaku, orang tua dan pihak lain yang terkait. Pilihan rekomendasi pun tertuang jelas di Undang-undang SPPA Pasal 10  Ayat (2) atau Pasal 11 Ayat (1). Oleh karena itu, dari sinilah obyektifitas rekomendasi tersebut diperhitungkan dan dipertanggung jawabkan oleh semua pihak.

Tujuan Kesepakatan Diversi

Kesepakatan dalam pasal tersebut berbentuk perdamaian tanpa syarat atau dengan syarat ganti rugi, penyerahan anak pelaku kepada orang tua, pelatihan di lembaga pendidikan, dan pelayanan masyarakat. Hasil penelitian PK Bapas menyebutkan bahwa, mayoritas orang tua anak pelaku tawuran ingin berdamai dan anaknya diserahkan kembali kepada mereka. Orang tua anak hanya ingin masalah cepat selesai tanpa berpikir panjang tentang potensi pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anaknya. Hal tersebut sangat tidak efektif dan tidak bisa menjamin bahwa anak tersebut tidak akan terlibat tawuran lagi.

Marwah dari upaya diversi bukanlah menyelesaikan kasus anak dengan cepat, tapi dengan tepat. Kesepakatan bukan dilihat dari yang paling ringan untuk dilakukan, tapi yang paling efektif untuk pencegahan. Hilir dari upaya diversi ini bukan damai lalu selesai, tapi intervensi yang membuat anak menjadi berakhlak dan muak untuk terlibat lagi dalam penyimpangan. Perlu tindakan yang continue berupa pengawasan setelah kesepakatan yang di hasilkan.

Pola asuh orang tua menjadi kunci utama dalam merubah perilaku anak. Oleh karena itu perlu adanya coaching terkait ilmu parenting yang bisa diberikan melalui Pusat pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang bernaung dibawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sekolah kembali menjadi tempat yang dikeramatkan untuk para pencari ilmu lagi, oleh karena itu perlu melibatkan aparat penegak hukum untuk sosialisai saat masa pengenalan lingkungan (MAPENALING). Pamungkasnya, petugas PK memastikan pengawasan dan program pembimbingan untuk anak yang berkonflik dengan hukum agar tidak ada kemungkinan untuk terlibat tindak pidana lagi.

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button